Jumat, 28 Desember 2012

The Hunger Games—Parodi Dunia Saat Ini



Poster Film The Hunger Games



Cover Novel The Hunger Games


Kakak saya hobi menyewa film dari rentalan. Terkadang film yang beliau sewa bagus, tapi tak sedikit juga yang salah pilih (piss, sista :D). Yang terakhir, beliau menyewa dua film, The Hunger Games dan Mirror Mirror. Waktu saya melihat The Hunger Games yang beliau sewa, saya langsung berkomentar, “ini baru benar!” Tumben, kakak saya berhasil menyewa film box office. Kakak saya selalu memasuki rentalan film dengan buta—ya, buta film. Tidak seperti saya yang sering repot-repot cari referensi by googling sebelum memilih film, kakak saya langsung saja pergi ke rental dan memilih di sana—hanya berpedoman pada sinopsis yang kadang tidak sesuai dengan ekspektasi.  Mungkin karena beliau memang sibuk bekerja, sehingga tak sempat cari-cari referensi seperti saya. Saat mendengar komentar saya itu, kurang lebih beliau hanya bilang, “aku melihat poster film itu dipajang di kaca depan rental.” Aku bersyukur rentalan memajang poster film itu di sana :D

The Hunger Games adalah film jawara box office tahun lalu. Saya dan kakak saya sama-sama penggemar film, tetapi juga sama-sama tak pernah pergi ke bioskop. Ketika ada film bagus rilis, kami tak pusing-pusing meluangkan waktu ke bioskop. Dengan sabar, kami menunggu vcd atau dvd film itu disewakan di rentalan. Kami berdua punya prinsip, menikmati film bukanlah harus buru-buru saat film masih fresh supaya kita bisa ikut nimbrung ketika orang-orang ribut membahasnya. Kami mengedepankan kenyamanan dalam menonton. Menonton di rumah adalah cara paling nyaman buat kita. Kita bisa menonton sambil makan rujak (bukan hanya makan popcorn), tiduran, tengkurap, dan yang paling asyik, kita bisa mem-pause film ketika kita harus melakukan sesuatu tetapi tak ingin ketinggalan setiap adegannya—misalnya ke kamar mandi, mengangkat jemuran, atau disuruh Ibu membeli garam di warung. Meski kami menonton dalam kondisi film ‘sudah basi’ dalam bahasan orang-orang, tetapi bagi kami intinya tetap sama: kita dan mereka sama-sama sudah nonton! ^_^

OK, saya tidak akan membahas terlalu banyak mengenai kebiasaan kami menonton film di rumah. Karena, inti dari tulisan ini adalah mengenai komentar saya terhadap isi cerita film The Hunger Games. Sebelum memasuki inti, saya ingin mengingatkan kepada siapapun yang membaca artikel ini, bahwa ini hanyalah pendapat saya, dan murni saya tuliskan dari apa yang ada di benak dan pikiran saya setelah saya menonton film ini.

Ketika film ini baru rilis di negerinya, saya membaca sinopsisnya sekilas. Dari posternya pun sudah kelihatan, ini film action fantasi. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan film action, apalagi panah-panahan, seperti gambar posternya. Tapi karena film ini menjadi jawara pada saat itu—dengan arti banyak orang yang suka, saya pun bersemangat ketika kakak membawa pulang vcd sewaannya ke rumah. Saat saya mulai menonton, rasa tertarik pun langsung muncul. Ternyata ini bukan sekedar film action fantasi, tapi juga thriller. Thriller adalah salah satu genre film favorit saya. Tak pelak lagi, langsung saya habiskan film itu hari itu juga.

Bagi yang sudah menonton, pasti sudah hafal dengan jalan ceritanya. Bisa ditebak dari judulnya, The Hunger Games adalah film yang bercerita tentang sebuah permainan. Tadinya, saya pikir film ini akan menonjolkan keunggulan utama dari kemampuan sang lakon dalam menjalani permainan hingga sukses sampai akhir. Tetapi lebih dari itu, film yang diangkat dari novel karya Suzanne Collins ini menunjukkan tentang potret dunia yang saat ini tengah terjadi, lewat berbagai macam sindiran a la TV show dan orang-orang dengan dandanan mencolok a la opera yang ditunjukkan dalam film ini. Kalau boleh saya bilang, film ini adalah sebuah parodi dari kenyataan hidup yang terjadi sekarang.

Film The Hunger Games punya setting negara tersendiri. Tadinya saya menduga ini dikarenakan film ini merupakan film fantasi, tetapi saya tidak melihat adanya penjelasan apapun di awal—tak ada narator yang terlebih dahulu bercerita, “dahulu kala, di sebuah negeri ratusan tahun yang lalu, bla bla bla...” atau “di sebuah negeri tak terjamah, bla bla bla...”—film ini hanya memunculkan penjelasan singkat secara tertulis, yang intinya menjelaskan bahwa The Hunger Games merupakan nama sebuah permainan yang merupakan tradisi sebuah negara bagian yang dalam film itu hanya disebut sebagai ‘The Capitol’. Setelah saya menilik wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/The_Hunger_Games), ternyata dalam novelnya dijelaskan bahwa negara latar cerita The Hunger Games berada pada zaman apokalips bernama Panem—ya pantes, fantasi banget.

Permainan ini diciptakan dalam sebuah perjanjian atas pengkhianatan karena dahulu terjadi pemberontakan dari 12 distrik yang berada di bawah kekuasaan The Capitol. Setiap tahun, keduabelas distrik harus mengirimkan 1 orang remaja laki-laki dan 1 orang remaja perempuan untuk mengikuti The Hunger Games sebagai bentuk ‘penebusan dosa’ atas pemberontakan yang pernah mereka lakukan—meskipun mungkin para pemberontak yang asli sudah meninggal jauhari sebelumnya, dan para remaja yang sekarang terlibat dalam permainan itu pun tak pernah menyaksikan pemberontakan yang selalu disebut-sebut oleh para bangsawan dari The Capitol itu. Yang semakin membuat permainan ini terlihat mengada-ada, hanya ada satu pemenang dari permainan ini dengan semua lawan (23 orang) harus mati—entah karena terbunuh atau karena terkena jebakan, infeksi, keracunan, dehidrasi, dsb. Saat saya mencari arti kata ‘hunger’ di kamus, artinya pun menunjukkan kesan permainan itu, yaitu kelaparan atau keinginan yang amat sangat. Ya, ketika seorang pemain The Hunger Games ingin menang, ia akan menjadi seseorang yang ‘kelaparan’ dan tega menghabisi para remaja yang seharusnya bisa ia jadikan teman.

The Hunger Games mengharuskan para pemain tinggal di sebuah wilayah hutan—yang ternyata di-setting sedemikian rupa oleh Gamemaker, seseorang yang dipercayai presiden The Capitol untuk mengatur dan mengontrol jalannya permainan. Awalnya saya kira 24 remaja itu dilepas di hutan belantara real, tetapi ternyata mereka dilepas di sebuah hutan buatan Gamemaker. Bahkan dunia penduduk negara itu pun ‘buatan’, dengan pimpinan teratas seorang presiden. Mereka harus saling membunuh, berebut perbekalan, menghindari jebakan-jebakan yang di-setting Gamemaker, atau setidaknya bertahan hidup sendiri. Sampai akhirnya yang tersisa hanya satu orang pemain, dan ialah yang akan menjadi pemenangnya. Setidaknya ‘pemenang’ menurut apa yang di-setting Gamemaker.

Jelas sudah, negara dalam film ini tak mungkin ada di dunia ini, karena kita punya HAM. Tapi benarkah itu? Benarkah negara seperti negara pembuat The Hunger Games ini tidak ada di dunia ini? Jika kita merenung lebih dalam, maka akan jelas terlihat bahwa permainan seperti The Hunger Games hanyalah sebuah parodi kecil dari apa yang sedang terjadi di dunia ini. Sebuah skenario saling menghancurkan dengan janji kemenangan tengah dijalankan oleh seorang ‘Gamemaker’ dan kita semua di dunia ini sebagai pemainnya! Inilah inti yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.

Saya menikmati alur cerita film ini, meski dengan penuh rasa ngeri, sebagai sebuah film fantasi biasa—yang ingin menyatakan bahwa ‘di dunia manapun, kebaikan akan selalu menang’—seperti ketika saya menonton Harry Potter, Narnia, Lord of The Rings, dsb. Namun anggapan itu perlahan mulai berubah ketika saya melihat bahwa permainan di The Hunger Games ternyata disiarkan sebagai sebuah TV show di negara tersebut, dan ditonton oleh semua penduduk dari 12 distriknya. Dalam film ini diceritakan bagaimana Gamemaker meminta pertimbangan-pertimbangan presiden ketika The Hunger Games sedang berlangsung, bagaimana sebuah drama percintaan digembar-gemborkan oleh presenter yang layaknya seorang komentator sepak bola ketika menyiarkan tentang jalannya The Hunger Games, bagaimana Gamemaker selalu berpikir agar The Hunger Games terlihat sebagai sebuah tontonan yang menarik bagi masyarakat (tanpa peduli permainan itu akan mengambil 23 nyawa remaja), bagaimana seorang penasehat tiap distrik (dalam hal ini distrik 12 yang merupakan distriknya sang tokoh utama) menasehati bahwa si tokoh utama, Katniss Everdeen, harus menjawab bahwa ia memang benar-benar mencintai teman satu distriknya, Peeta, agar Gamemaker dan penonton senang, bagaimana Katniss dan Peeta terlihat saling jatuh cinta saat menjalani permainan namun saat pulang ke distriknya sebagai pemenang mereka menyatakan harus melupakan semua apa yang sudah terjadi di antara mereka, dan bagaimana sewenang-wenangnya Gamemaker dalam membuat aturan permainan dengan tujuan mengocok emosi pemirsa. Ketika Katniss berhasil menjauh dari musuh-musuhnya dalam permainan, hingga terlalu jauh dan tidak terjangkau, Gamemaker menyuruh para stafnya untuk menciptakan kebakaran hutan sehingga Katniss harus kabur dari tempat persembunyiannya dan mendekat ke area musuh-musuhnya. Ketika kisah cinta Katniss dan Peeta menjadi menarik di mata pemirsa, Gamemaker mengubah peraturan The Hunger Games, bahwa pemenangnya boleh dua orang, asal sama-sama dari satu distrik. Untuk menggiring Katnis dan Peeta bertanding dengan seorang lawan lagi yang bernama Cato, Gamemaker pun menyuruh stafnya membuat anjing ganas untuk mengejar mereka hingga mereka lari dan bertemu Cato. Namun ketika Katniss dan Peeta berhasil memenangkan permainan, Gamemaker mendadak mengumumkan bahwa peraturannya kembali ke awal, bahwa hanya boleh ada satu pemenang. Ketika Katniss dan Peeta memutuskan untuk sama-sama bunuh diri, Gamemaker menghentikannya, dan akhirnya mereka berdua tetap bersama-sama menjadi pemenang The Hunger Games. Adegan di bagian akhir, meski tidak ditunjukkan secara langsung, Gamemaker bunuh diri dengan memakan buah berry beracun, karena ia merasa gagal menjalankan permainan itu. Katniss tak mau membunuh Peeta, tidak seperti kehendaknya.

Terlepas dari ide cerita yang GILA karena menggampangkan penciptaan makhluk dan kejadian—kebakaran hutan, anjing ganas, dan segala yang ada di permainan itu diciptakan dengan teknologi komputer oleh Gamemaker dan para stafnya—sekali lagi, film ini sebenarnya merupakan parodi dari kehidupan saat ini, bahwa ada ‘Gamemaker’ menyetting berbagai huru-hara yang terjadi di dunia saat ini.

Sebutlah, USA dan para sekutunya, yang Yahudi, atau berpehamaman buruk itu. Apa sih yang sekarang tidak berada ‘di bawah kendalinya’? Bahkan sampai pada hal-hal yang tak disadari pun kini berada di bawah pengaruhnya. Dunia ini bagaikan ajang permainan bagi pihak-pihak tersebut. Dibikin kacau, diadu domba sana-sini, dibikin ribut. Dan kenapa kita mau dibikin ribut? Karena ada harapan kemenangan yang diiming-imingkan di sana, sehingga para boneka yang diadu memiliki ‘hunger’. Dan kenapa mereka membuat permainan ini? Tidak lain karena dengan membuat, maka merekalah yang otomatis menang. Semua diatur sedemikian rupa agar semua berada di bawah kehendaknya, dan bukan mereka yang menang dalam permainan yang menjadi pemenangnya, tetapi si pengatur permainan itulah pemenang sebenarnya. Meski melalui jalan yang BURUK.

Mereka menggunakan segala macam taktik, menyetting berbagai keadaan, dan menetapkan peraturan yang sewenang-wenang seperti Gamemaker dalam The Hunger Games untuk mengadu domba orang-orang, atau golongan-golongan, atau bahkan bangsa-bangsa sehingga mereka pada akhirnya porak-poranda dan sang Gamemaker-lah yang menang. Jika Gamemaker dalam The Hunger Games menciptakan permainan itu dengan alasan sebagai bentuk penebusan dosa atas pemberontakan orang-orang dari distrik, maka, sebagai contoh, Yahudi menciptakan peperangan dengan alasan membela haknya sebagai bangsa yang dulu mengalami tragedi Holocaust. Jika Gamemaker menciptakan kebakaran hutan untuk menggiring Katniss mendekat kepada musuhnya, maka Amerika mengebom gedung tertingginya untuk melancarkan tuduhan teroris kepada umat Islam sehingga memancing kerusuhan. Dan lebih luas, mereka melakukan permainan semacam The Hunger Games untuk seluruh dunia, sehingga mereka benar-benar berkuasa atasnya. Mereka tak pernah sadar, mereka bahkan tak punya kuasa untuk menurunkan air hujan dari langit.

Sebagai muslim, saya benci dengan hal ini, yang menganggap orang lain, golongan lain, bangsa lain, sebagai boneka. Saya percaya dengan satu kemenangan, yaitu kemenangan Islam. Allah menjanjikan kemenangan bagi Islam, itu mutlak. Kenapa saya sangat percaya? Karena Islam akan menang dengan cara apapun yang Allah kehendaki. Tak perlu kami repot-repot merancang permainan, mengadu domba, membikin huru-hara, itu hal yang PAYAH. Ketika dunia ini damai, dan umat agama lain tak menyerang kita secara frontal, Allah pun melarang kita menyerang mereka secara frontal. Kita cukup hidup apa adanya sebagai seorang muslim, berdakwah secara santun, tidak neko-neko, TIDAK MENEROR. Bagi mereka yang cerdas, mereka akan dengan sendirinya jatuh cinta dengan ajaran kita. Satu per satu akan meminta bergabung dengan kita, dan perlahan tapi pasti Islam-pun menang. Dan jika dunia ini ribut, mereka menyerang kita secara frontal, barulah kita diperbolehkan balas menyerang, namun itupun dengan berbagai kesantunan yang juga seharusnya menyadarkan di antara mereka yang cerdas. Islam akan menang, itu mutlak.

Ketika dunia ini sudah terlanjur ‘di bawah kendali’ mereka (hanya kiasan, karena kendali tertinggi tentu hanya pada Allah SWT), maka kita harus bertindak melawan aturan permainan mereka. Seperti Katniss, yang tidak mau membunuh Peeta, tapi malah memutuskan bunuh diri bersama-sama, karena bukan kemenangan di mata orang-orang yang ia cari, namun solidaritas—bukan bermaksud menyatakan bahwa bunuh diri dan cinta-cintaan sebelum nikah itu boleh, tetapi hanya mengambil hikmah atas keputusannya ‘membangkang dari peraturan’. Toh akhirnya Gamemaker malah bunuh diri. Jangan kita terus hanyut dalam aturan yang mereka buat dan akhirnya menjadi budak mereka, tetapi bagaimana kita melangkah keluar hingga dapat menjatuhkan mereka dan kemenangan pun ada di tangan kita, ISLAM. Jangan dahulu berpikir terlalu berat. Bahkan Syaikh Adnan A’li Ar-Rantisi, imam besar Masjid Gaza Palestina, ketika ditanya seorang pemuda di Masjid Fatimatuzzahra Purwokerto tentang bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemuda Indonesia untuk membantu dalam konflik di Palestina, beliau hanya menjawab bahwa cukup shalat berjamaah secara rutin selama satu tahun penuh dan menghafal Al-Qur’an, beliau tidak menyuruh pemuda itu untuk berangkat berperang ke Palestina.

Salah satu yang juga mencirikan bahwa film ini adalah sebuah parodi, yaitu make up penduduk The Capitol yang berlebihan. Semua penghuni The Capitol berdandan a la festival. Singkat saja, poin ini mencirikan banyaknya manusia yang memakai ‘topeng’ untuk menutupi jati diri mereka. Mereka, orang-orang The Capitol itu, bahkan sangat menikmati setiap jalannya The Hunger Games.

The Hunger Games adalah parodi ringan dari apa yang terjadi di dunia, dan juga, parodi berat dari TV show yang sekarang sedang menjamur di dunia pertelevisian termasuk Indonesia. Dulu, saya sempat percaya bahwa reality show adalah benar-benar kejadian nyata yang direkam kamera, tetapi semakin ke sini, saya semakin sulit membedakan mana yang ‘reality’ show dan mana yang sinetron. Saya mulai curiga ketika reality show mulai lebay dalam menampakkan kesedihan orang-orang dalam acara tersebut, atau jalan ceritanya seperti sudah tertebak layaknya di sinetron. Semuanya ternyata hanya settingan.

Ketika rating reality show tersebut turun, maka salah satu cara jitu adalah meramu cerita yang dapat menarik pemirsa—yang paling sering adalah mengeksploitasi kesedihan dengan memaksa orang-orang dalam reality show tersebut menangis. Kalau belum menangis, maka sang host akan memancing, memancing, dan memancing terus sampai ia sesenggukan sendiri. Cara jitu kedua adalah, meramu kisah cinta lokasi—ini seperti yang terjadi di The Hunger Games, dan di sana ditunjukkan bahwa penonton menyukainya. Terkadang sang pembuat acara hanya membumbui apa yang sudah terjadi secara nyata, tetapi tak jarang juga, mereka tidak hanya sekedar membumbui, tetapi membuatnya dari awal. Manusia memang senang berkhayal, sehingga mereka tak tertarik jika apa yang ditayangkan di TV datar-datar saja seperti hidup mereka. Kalau boleh, saya menganjurkan reality show yang pura-pura real untuk mengaku secara baik-baik bahwa kisah dalam acara mereka HANYA FIKTIF BELAKA.

Well, semua bersimpul pada evaluasi fenomena yang terjadi saat ini. The Hunger Games hanya sebuah film, yang saya analisa menurut jalan pikiran saya—entah sejalan dengan pemikiran si penulis novel dan sutradara film-nya atau tidak. Tetapi yang jelas, apalah arti fasilitas blogging jika saya tak boleh menulis apa yang ada dalam pikiran saya ini? Saya pun tak pernah mengira, bahwa pemikiran saya jika dituliskan ternyata sebanyak ini.

Dan, setelah saya selesai menulis artikel ini, saya iseng menilik tribunnews (http://www.tribunnews.com/2012/03/22/kisah-the-hunger-games-terinspirasi-perang-irak) terlebih dulu sebelum memposting artikel ini ke blog. Saya mendapati bahwa ternyata Suzanne Collins memang benar-benar menulis novel ini karena terinspirasi dari fenomena reality show yang diikuti para pemuda untuk memperebutkan jutaan dollar, sementara saat itu juga ia melihat sebuah perang sedang terjadi di belahan dunia lain, yaitu Irak. Ia bahkan mengunggah sebuah video di youtube yang menegaskan bahwa ia tengah berusaha menggugah sikap kritis pemuda atas apa yang sedang terjadi saat ini.

Meski saya tidak bilang novel dan film ini 100% bagus, saya salut. Novel dan film ini benar-benar bisa menerjemahkan kritikan ke dalam sebuah film yang juga dapat dipahami oleh orang awam seperti saya. Dan satu hal lagi, karena ini novel dan film kritikan, maka ia hanya digunakan untuk menyadarkan kita yang belum sadar terhadap fenomena yang sedang dikritisi itu, bukan menjadi contoh bulat-bulat J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar