Jumat, 21 Desember 2012

It's Me - Perfect Melancholic

Begitu saya selesai membaca buku psikologi tentang kepribadian karya Florence Littauer beberapa tahun yang lalu, saya langsung dapat menyimpulkan dengan mudah, bahwa saya adalah perempuan dengan kepribadian melankolis sempurna (benar-benar melankolis). Jangan artikan melankolis sebagai istilah yang selama ini sering kita gunakan (mellow, suka nangis, cengeng, dst). Melankolis sempurna adalah salah satu jenis kepribadian seseorang yang ciri utamanya bersifat suka menganalisis, detail, pemikir, perfeksionis, cenderung pendiam, dan kadang, saya membaca di literatur bahwa pribadi melankolis biasanya pribadi yang malang di antara pribadi yang lain. Karena orang melankolis cenderung suka mengalah, hampir selalu menerima amanah yang diberikan padanya, dan memang, terkadang merasa bersalah ketika tengah bersenang-senang (contoh kecil, ia merasa bersalah telah menghabiskan waktu 2 jam untuk menonton film--meskipun sebenarnya ia memang butuh hiburan setelah 10 jam bekerja).

Saya pernah membaca tentang perumpaan seorang melankolis di antara sosok pribadi jenis lain, bahwa ketika sebuah keluarga mengadakan acara makan bersama, seorang ibu dengan pribadi tersebut sibuk sendiri menyiapkan acara sesempurna mungkin, lalu mencuci semua piring begitu acara selesai. Ia berharap ada keluarganya yang memahami bahwa ia juga butuh bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan itu, namun ia tak mau meminta secara langsung, ia hanya menunjukkan bahwa ia tengah bekerja. Namun, orang-orang di sekitarnya yang berkepribadian sanguinis (supel, periang, suka bicara), koleris (tegas, diktator, pandai memimpin), dan plegmatis (tenang, santai, cenderung lamban) tidak ada yang menyadarinya dan terus larut dalam kemeriahan acara keluarga. Sang melankolis hanya bisa menangis di dapur sambil terus mencuci piring.

Itu bisa saja terjadi secara nyata. Karena saya sebagai seorang melankolis pun pernah mengalaminya, meski kasusnya bukan mencuci piring di acara keluarga. Tapi saya pernah bertekad bahwa saya ingin membuktikan bahwa orang melankolis bukanlah pihak 'malang' di antara pribadi yang lain. Memang karakter dasarnya seperti itu, tetapi saya ingin orang-orang di sekitar saya tahu, bahwa kemalangan yang biasanya terjadi pada seorang melankolis adalah pengorbanan yang patut dihargai. Saya tidak sedang mengagung-agungkan diri saya, karena orang yang berkepribadian melankolis di dunia ini bukan hanya saya, tapi jutaan orang. Saya membelanya atas nama 'pribadi melankolis' bukan atas nama saya sendiri.

Banyak orang melankolis di sekitar saya yang mengalami yang katanya 'kemalangan' itu. Tapi saya tak akan mengatakannya sebagai 'kemalangan', melainkan 'pengorbanan'. Ya, pengorbanan. Apa jadinya kalau di dunia ini tidak ada orang melankolis? Meski semua jenis pribadi juga bisa melakukan pengorbanan, tapi saya yakin, tidak sesering orang melankolis, karena karakter dasarnya seperti itu. Pengorbanan sekecil apapun.

Semua jenis pribadi memiliki karakter khasnya masing-masing yang saling melengkapi. Kalau semua orang sanguinis, mungkin tidak akan ada penulis di dunia ini. Kalau semua orang koleris, maka tidak akan ada orang yang menjadi bawahan di dunia ini. Kalau semua orang plegmatis, maka dunia ini akan terlalu 'tenang' dan itu justru membahayakan. Dan kalau semua orang melankolis, maka dunia ini hanya akan dipenuhi orang yang waktu berpikirnya lama dan perfeksionis--sangat bahaya juga.

Menjadi pribadi melankolis menyenangkan bagi saya. Mungkin karena itulah, saya lebih senang menulis daripada bicara, saya senang menggambar, mendesain, selalu ingin tahu setiap hal dengan detail (KEPO :D), dan cenderung mudah menerima semua keadaan yang dihadapkan pada saya. Namun, saya juga kadang lelah dengan sifat perfeksionis, terlalu banyak berpikir, sering menyalahkan diri sendiri, bahkan merasa bersalah ketika sedang menghibur diri. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, saya juga kadang lelah harus melakukan semua yang dibebankan kepada saya, karena saya jarang berani menolak amanah yang diberikan, karena sifat dasar melankolis yang tidak enakan. Namun terkadang saya meyakinkan pada diri saya, bahwa setiap apa yang saya lakukan harus saya niatkan sebagai tabungan amal untuk bekal akhirat kelak, sehingga saat lelah mendera, saya dapat terus menghadapinya dengan senyum dan tak pernah menyesal dilahirkan sebagai seorang melankolis.

Saya tak bohong, saya sangat BANGGA menjadi seorang melankolis sempurna. Saya dapat menjadikan hobi menulis, menggambar, dan mendesain yang merupakan bakat kebanyakan orang melankolis sebagai ladang amal, baik untuk dunia maupun akhirat. Dan saya pun tak memungkiri ingin berkembang, merambah ke ranah sanguinis, koleris, dan plegmatis. Sampai saat ini, saya masih belajar berkomunikasi dengan baik, baik dengan perseorangan maupun massal. Karena tuntutan dakwah telah membuat saya termotivasi untuk itu. Mungkin konsentrasi saya tetap pada tulisan dan pesan-pesan non verbal, tetapi secara oral pun saya harus persiapkan.

Dan kalau saya bukan orang melankolis, mungkin saya tidak menulis postingan ini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar