Jumat, 21 Desember 2012

(Cerpen) Aku dan Keberuntunganku - Part III


“Nak, jangan bosan untuk selalu ingat, bahwa semua yang terjadi dalam hidup manusia pasti ada hikmahnya. Jangan kira bahwa karena kita orang baik-baik, kita tidak pernah diberikan cobaan. Justru untuk menguji iman dan kesabaran kita, kita pasti akan diberi cobaan. Bukankah untuk naik kelas seorang murid harus menjalani ujian lebih dulu?” jelas Bapak.
Waktu itu aku hanya bisa diam menundukkan kepala.
“Bapak tahu kamu kuat,” katanya.
***
 Melanjutkan lebih mudah daripada memulai. Tetapi memulai jauh lebih mudah daripada mengulangi, karena saat mengulangi, ingatan buruk akan pengalaman sebelumnya akan menghantui. Dan itu adalah hal berat bagiku. Aku harus mengulangi semua perjuanganku, untuk kembali berjerih payah mendapatkan beberapa lembar uang.
Bapak dan Ibu tak pernah menyalahkanku atas apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Itu cukup membuatku merasa tenang, dan berusaha mengikhlaskannya. Toh rezeki sudah ada yang mengatur, Dia tak tidur, Dia melihat perjuangan kita.
Hari ini aku pergi ke kampus dengan energi sepiring nasi goreng—ada nasi sisa kemarin, lebih baik digoreng saja daripada harus beli lauk lagi, begitu pikir Ibu. Perhitungan yang cermat memberi kesimpulan padaku bahwa hari ini tak ada jatah uang untuk makan siang di kampus. Untung saja, sepiring nasi goreng cukup bagiku untuk bertahan sampai maghrib, yang penting aku tak boleh lupa membawa air minum sendiri. Nyatanya, saat siang datang Allah memberiku rezeki lewat temanku yang memberiku dua potong brownies yang ia bawa ke kampus, alhamdulillah.
Selepas dzuhur aku harus bergegas ke toko asesoris tempatku menitipkan asesoris flanel karyaku. Berapa buahpun yang sudah terjual, aku tak boleh malu untuk mengambil uangnya—karena aku butuh, sangat butuh. Setelah pemilik toko menghitung, ternyata hanya beberapa buah bros kecil yang terjual, dan uang yang bisa kukantongi hanya 12.000 rupiah saja. Tak apa, itu cukup bagiku untuk berjaga-jaga agar dompetku cukup tebal, meski dengan lembaran seribuan.
“Kebiasaan!”
Kudengar suara keras seorang wanita dari warung makan di sebelah toko asesoris. Aku melihat seorang bujang kecil di depan warung itu. Tubuhnya didorong-dorong keluar oleh seorang ibu berperawakan tinggi besar.
“Diajarin siapa kamu?!! Kecil-kecil ngutilin makanan! Pergi sana! Jijik liatnya!” omel ibu itu.
Si bujang tampak menahan tangis. Di tangannya masih ada sepotong tempe goreng yang terlihat bergoyang-goyang karena si bujang gemetaran. Kelihatannya lidahnya kelu untuk sekadar mengutarakan pembelaan diri.
Ibu itu tampak sangat kesal melihat si bujang tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. “Kenapa lagi????” Ibu itu menoyol kepala si bujang dengan kasar di depan mataku. Ingin kucegah, tapi terlambat. “Mau kupukul pake sapu, heh???” Ibu itu tampak bersiap memukul si bujang dengan sapu yang tersandar di tembok.
“JANGAN!” akhirnya suaraku keluar juga.
Ibu itu tampak kaget melihatku. Ekspresi garangnya tampak berkurang. “Tidak usah ikut campur, Mbak. Anda tidak tahu si yatim ini sudah ngutil berapa kali!” ujar ibu itu, berusaha membenarkan tindakannya.
Aku sendiri bertambah kaget mendengar ibu itu berkata bahwa si bujang kecil itu adalah anak yatim. Justru karena itulah, tak seharusnya ibu bertindak seperti itu, batinku.
“Saya bukannya ingin ikut campur, saya cuma tidak ingin Ibu mendapat masalah karena menyakiti seorang anak, apalagi anak yatim,” kataku.
Ibu itu tampak tersenyum meremehkan. “Jelas Anda bisa bicara seperti itu, wong Anda tidak merasakan kerugiannya!”
“Memang berapa yang anak ini ambil kalau dirupiahkan?” tanyaku cepat.
“Kenapa? Mau ganti rugi???” ujar Ibu itu menantang.
“Katakan saja berapa, Bu,” kataku tegas.
Ibu itu memainkan mulutnya—yang pasti akan membuat seseorang kesal jika melihatnya. “Dua puluh ribu!” katanya ketus.
Aku mengambil dompetku dan mengambil beberapa lembar uang. “Saya bayar lima belas ribu dulu. Besok saya akan ke sini lagi membayar kurangannya,” jelasku tegas, lalu menggamit tangan si bujang dan pergi dari warung makan itu.
Aku berhenti berjalan agak jauh dari warung makan tadi, lalu berjongkok dan menatap si bujang.
“Kamu tidak bermaksud mencuri makanan itu kan, Sayang? Kamu kelaparan, ya?” tanyaku pelan.
Si bujang tampak bingung, menatapku nanar. Tempe goreng yang masih ada di tangannya kembali bergoyang gemetaran.
“Jangan takut sama Kakak, Kakak ndak akan marahin kamu,” lanjutku.
“Ridho!”
Belum selesai proses interogasiku, kembali kudengar suara wanita yang cukup keras di dekat kami, tapi itu jelas bukan suara si ibu pemilik warung tadi. Aku dan si bujang menoleh. Di sana sudah berdiri seorang wanita berkulit hitam lusuh, mengenakan topi butut dan menggendong seorang bayi.
“Mau dibawa ke mana anak saya, Mbak???” tanyanya marah padaku. Ridho, si bujang itu, melepas genggamanku dan berlari ke arah sang ibu. “Tidak usah sok menasehati anak saya, saya juga tahu Mbak akan bilang kalau mencuri itu dosa. Memangnya kenapa kalau dosa? Memangnya Mbak mau nguburin mayat saya dan anak saya kalau kami mati kelaparan? Nggak usah pedulikan dosa kami akibat mencuri,” jelasnya cepat. “Ayo kita pergi!” Ia lalu menggamit Ridho dan pergi meninggalkanku yang masih tercengang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar