Jumat, 21 Desember 2012

(Cerpen) Aku dan Keberuntunganku - Part I


Dipikirnya keren jadi tentor les begini? Dipikirnya asik sibuk kerja ke sana ke mari?
Sering, teman-teman menganggapku seperti itu. Dikira itu cita-citaku? Dikira aku sengaja biar keren? Ooo... tidak. Aku tidak pernah bercita-cita dilahirkan dari keluarga pas-pasan. Aku tidak pernah bercita-cita jadi mahasiswi yang sibuk kerja. Tidak pernah.
***
Waktu itu hujan rintik-rintik membasahi sebagian bumi di mana gedung fakultas yang sedang aku tempati berdiri. Aku melihat jam tanganku yang paling cantik sedunia. Jam 13.10, itu artinya 20 menit lagi seharusnya aku sudah berada di rumah murid lesku. Aku menatap ke luar melalui jendela ruang kuliah. Kelihatannya gerimis mulai berubah menjadi hujan kecil, dan akhirnya 5 menit kemudian hujan besar mengguyur kawasan kampusku. Berat. Harus menerobos hujan demi dua lembar uang 10 ribuan memang berat. Tapi itu bukan hal asing lagi bagiku. Itu keharusan.
Begitu Bu Dosen mengakhiri kuliahnya, aku segera keluar kelas. Aku berlari menuju tempat parkir, tanpa terlalu memedulikan beberapa teman yang memanggil-manggil—untuk urusan tugas makalah, adik kelas yang minta konsultasi, dan lain-lain. Sempat lupa di mana kuparkir motor bututku, tapi kemudian ia terlihat di barisan sebelah kanan dengan helmku—yang juga tak kalah bututnya—tergantung di kaca spion sebelah kanan. Segera kubuka bagasi motor dan mengambil mantel yang kusimpan di sana. Cepat-cepat kupakai mantelku yang sudah berhias isolasi untuk menambal bagian yang sobek, kupasang helm di kepala, kunyalakan motor, dan akhirnya aku meluncur—tanpa bisa ngebut karena hujan deras membuat jalanan licin.
Sungguh berbahaya, jika aku terus hanyut dalam lamunan sepanjang perjalanan menuju rumah Odi, murid lesku. Aku merasakan badanku yang mulai kurus, tenaga yang mulai berkurang, dan kepala yang tak pernah lepas dari rasa pusing dan penat. Tak sempat makan, harus terburu-buru dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain, tak pernah bisa tidur siang, pulang ke rumah kala gelap telah datang tapi tetap harus bersiap untuk aktivitas esok pagi, itu semua kini sudah menjadi rutinitasku. Aku adalah pemakan waktu, yang berangkat ke kampus sebelum teman-teman datang, dan pulang dari kampus setelah teman-teman pulang.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang aku alami. Aku selalu berpikir, aku bukanlah orang yang beruntung, jadi, aku memang ditakdirkan untuk selalu berjuang. Seumur hidupku, aku tidak pernah memenangkan undian apapun, termasuk memenangkan kupon jalan sehat—dapat merchandise-pun tak pernah. Mungkin terlalu sempit, tapi dari situ aku mengambil kesimpulan, bahwa aku memang bukan tipe orang beruntung.
Saat Odi mengatakan bahwa ia merasa kesulitan dengan banyak rumus matematika yang ia pelajari di sekolahnya—begitu aku sampai di rumahnya—saat itulah aku harus kembali berjuang membuka mataku lebar-lebar, menahan kantuk berat yang hampir selalu mendera, dan menahan lapar.
Selesai membantu Odi belajar, bukannya langsung pulang ke rumah, aku kembali ke kampus—mengerjakan tugas yang lain. Kini giliran aku membantu adik-adik angkatan dalam praktikum suatu mata kuliah. Dengan jas panjang warna putih, aku bersama teman-teman asisten siap memimpin acara praktikum di laboratorium. Meskipun badan terasa remuk, tapi harus selalu ada semangat yang terpancar. Dan tidak sepenuhnya aku harus merasa lelah menemani mereka, karena aku senang, dengan ini aku bisa memiliki banyak adik di kampus.
***
Yang paling menyenangkan adalah saatnya menghitung uang. Memplot-plotkannya untuk membayar ini, itu, tetek-bengek kuliah yang tak pernah ada habisnya.
Saat itu malam yang basah. Air hujan yang jatuh ke genting rumah, menimbulkan suara khas yang membuat manusia betah dan tidak ingin melakukan aktivitas di luar. Hawa dingin justru semakin membuat rumah terasa hangat, dan begitu nyaman untuk manusia beristirahat, memejamkan mata. Tapi aku masih menghitung uang. Lembar demi lembar kurentangkan, agar jelas, berapa uang yang sudah kukumpulkan.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Ibu. Ia kemudian masuk dan duduk di tepi tempat tidur, tempatku sedang merentangkan uang-uangku—yang sebenarnya tidak seberapa.
“Sudah dapat bayaran dari semuanya?” tanya Ibu. Dadanya yang tampak sekali kembang-kempis jika mengambil nafas membuatku tak kuasa menatapnya.
“Dari ibunya Odi sudah, dari bantu penelitian Bu Emi sudah, dari bantu kerjaannya Pak Suratno sudah, bayaran asisten praktikum sudah, tinggal asesoris flanel yang dititipkan di toko yang belum...” jelasku, sembari tetap menghitung.
Kupikir Ibu akan menyahut, tapi ia diam saja. “Kenapa, Bu?” tanyaku, seraya mendongakkan kepala menatapnya.
Ibu mengalihkan pandangannya dariku.
“Obat Ibu habis?” tanyaku. “Iya, insya Allah besok jeda kuliah Sita belikan obat ke apotek biasa. Tenang saja, Bu...” jelasku, sebelum Ibu sempat menjawab.
Ibu menggeleng. “Ibu dan Bapak malu, Nak...” kata Ibu tiba-tiba.
Menurutku, Ibu bukanlah tipe orang yang romantis. Ibuku adalah orang yang kaku dan jarang mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata. Tapi saat ini, kelihatannya ada satu ketertekanan yang membuat Ibu tak peduli lagi dengan rasa canggung untuk berterus terang mengenai perasaannya padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar