Poster Film A Long Visit (My Mom)
Ini adalah tulisan lama saya, tertanggal 6 Januari 2011 di arsip saya. Dulu saya posting di note FB, namun kali ini saya ingin mempostingnya lagi di blog ini. Check it out!
Banyak
teman yang bilang film ini BAGUS, mengharu biru, dan pokoknya menyentuh hati.
Saking meyakinkannya mereka bilang begitu, saya jadi semakin termotivasi untuk
menontonnya. Beberapa hari setelah mendapat film-nya, saya langsung
menontonnya. Mungkin karena ekspektasi yang terlalu berlebihan, akhirnya
membuat saya jenuh menonton film ini. Pada awalnya saya menikmati alur cerita
yang natural dan sangat “nyata” di kehidupan kita itu, tapi baru setengah dari durasi
film, saya angkat tangan dan memutuskan untuk mematikan laptop saya. Saya pikir
akan ada semacam “kejutan” atau apalah di tengah cerita, tapi nyatanya alur
film tetap berjalan seperti itu. Mungkin memang A Long Visit dimaksudkan untuk
dijadikan film yang datar tapi mengena, seperti The Way Home, Hearty Paws,
Hachiko, atau Wedding Dress. Tapi, menurut saya—ini menurut saya J--keempat film tersebut lebih
punya sedikit amplitudo dibanding A Long Visit.
Akhirnya
saya merampungkan film itu beberapa hari kemudian. Saya penasaran, tapi bukan
layaknya penasaran terhadap kejadian di dalam film itu, melainkan penasaran
kapan si “kejutan” atau setidaknya sedikit “amplitudo” itu akan muncul. Dan
memang, amplitudo itu muncul, tapi agak-agak di akhir. Ternyata, si anak
perempuan kesayangan sang ibu sakit kanker dan meninggal di penghujung
film—ending tipe film golongan atau digolongkan “datar tapi mengena”.
Kalau
dari segi akting, film ini memang bagus. Sang ibu dan anak perempuannya bisa
menerjemahkan skenario film yang dibuat sealami mungkin (seperti kehidupan sehari-hari)
menjadi akting yang juga natural. Bagaimana ibu yang tidak berpendidikan
berjuang membesarkan anaknya dengan penderitaan dan kekonyolan-kekonyolan yang
banyak terjadi di sekitar kita, sang anak yang malu tapi sayang dengan ibunya
yang norak tapi sangat mencintainya, dan sederet peristiwa-peristiwa lazim
lainnya yang terjadi di kehidupan nyata. Film ini menjadi kubu seberang dari
film-film laris yang dikatakan realistis tapi tidak realistis-realistis amat
juga. Misalnya, ketika seorang gadis harus berjuang menghidupi diri dan
keluarganya (atau harus berjuang untuk membayar utang yang ditinggalkan orang
tuanya), ia lalu bertemu dengan laki-laki tipe pangeran tampan yang bertemu
dengannya karena suatu KEBETULAN. Meski dari kalangan tidak punya, kebetulan
gadisnya cantik, jadi endingnya pun... ya begitulah. Kalau dipikir-pikir, apa
iya kita sering menemui fenomena semacam ini? Kalau kebetulan gadisnya tidak
cantik (secara fisik) bagaimana? Atau yang laki-lakinya tidak tampan (secara
fisik juga) bagaimana? Sudah begitu, kadang-kadang si gadis jadi rebutan juga.
Laki-laki yang merebutkan masuk tipe pangeran tampan pula! Kalaupun ada
kenyataan semacam ini, pasti sedikit. Padahal cerita tipe cinderella seperti
ini buaanyak sekali dipakai untuk inti cerita dan laris manis di pasaran. Tapi
tidak bisa dipungkiri, kisah-kisah seperti ini memang banyak disukai oleh
masyarakat, terutama masyarakat yang mendambakan kehidupan ideal, sejenak mereka
lari dari kenyataan dan bahagia dengan menonton serial yang beralur ideal itu.
Dibanding
dengan kisah semacam itu, mungkin sesekali kita memang perlu menonton film-film
yang lebih realistis dan natural, kita bisa bercermin terhadap diri kita
sendiri, dan kadang menertawakan kekonyolan dalam film yang sering kita lakukan
di dunia nyata. Seperti film A Long Visit ini, yang malah mungkin terlalu
realistis.
Hal
lain yang mengecewakan saya, selain “amplitudo” yang kurang greget, adalah
pesan moral film ini yang kurang sempurna. Mungkin dari film ini, sang penulis
cerita ingin menyampaikan pesan dengan tokoh utama ibu, yaitu tentang
“sayangilah ibu”, “jangan membenci ibu”, “pengertianlah terhadap ibu”, dan
sebagainya. Tetapi setelah menonton film ini, bukannya saya menangis karena
terkenang sosok ibu yang begitu mulia, saya malah sungguh tidak suka dengan
sosok ibu dalam film ini. BENAR-BENAR TIDAK SUKA.
Mari
kita cermati dari tiap segmen film ini.
Pertama,
film ini seolah-olah menunjukkan betapa besar kasih ibu kepada anaknya. Tapi
anak yang mana? Di film ini, si ibu sangat sangat sangat menyayangi anak
perempuannya, tapi anak laki-lakinya ia cueki mentah-mentah. Kalau pesan yang
akan dibawa adalah besarnya kasih sayang ibu kepada anaknya, harusnya tokoh ibu
dalam film ini juga menyayangi anak laki-lakinya (adiknya si anak perempuan kesayangan).
Atau setidaknya bersikap sewajarnya, tidak cuek seperti itu. Kesan ibu mulia
yang penuh kasih sayang terhadap anaknya (semua anaknya—red) menjadi gagal
dibawakan dalam film ini, karena ia hanya mencurahkan kasih sayangnya pada anak
perempuannya.
Kedua,
film ini seolah-olah ingin menunjukkan betapa besar dan berat perjuangan
seorang ibu untuk membesarkan anaknya. Tapi, film ini menunjukkan karakter sang
ibu yang RELA melakukan APA SAJA demi anaknya, termasuk mendatangi peramal dan
menawar harga makanan di pasar dengan begitu sadis. Tentu saja saya sebagai
seorang muslim sangat tidak sepakat dengan hal ini. Kita boleh bekerja keras
untuk suatu hal yang baik (termasuk membesarkan anak), tapi tidak sampai
berbuat syirik dan mendzalimi orang lain.
Ketiga,
film ini seolah-olah ingin menunjukkan rasa cinta yang total dari sang ibu
untuk anaknya (anak perempuannya—red). Tapi, rasa cinta ini sungguh
diekspresikan terlalu berlebihan. Sang ibu sangat tidak rela ketika anaknya mati,
sampai menangis meraung-raung, bahkan berjanji untuk mati duluan. Karena
ternyata tidak mati duluan, ia berjanji untuk segera menyusul anaknya dan
bertemu dengannya di kehidupan berikutnya. Kehidupannya pun dihabiskan dengan
hanya melamun dan ia menjalani semua aktivitas seolah-olah tanpa nyawa—sampai
sebegitunya. Kembali lagi, dikemanakan anak laki-lakinya? Bukankah ia masih
punya seorang anak laki-laki? Lalu ia juga punya cucu dan menantu yang baik.
Mereka semua dikemanakan? Lagi, sebagai seorang muslim saya sangat tidak
sepakat dengan hal ini. Sang ibu telah menempatkan rasa cinta yang pertama
untuk anak perempuannya. Padahal, tingkatan cinta yang pertama adalah untuk
Allah SWT. Dan yang keduapun untuk Rasulullah SAW. Tidak boleh kita cinta
berlebihan pada harta, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, bahkan pada anak.
Kita juga tidak boleh menangisi orang yang sudah meninggal dengan berlebihan,
sampai meraung-raung, mengutuk, dan bahkan mempengaruhi perjalanan kehidupan
kita selanjutnya. Kita harus merelakan setiap nyawa yang pergi meninggalkan
kita, agar ia pun bisa pergi dengan tenang.
Terlepas
dari kekurangan-kekurangan yang saya cermati itu, kembali saya menyampaikan
bahwa mungkin film ini memang ditujukan untuk menunjukkan realita yang ada
dalam hidup kita. Mungkin sang penulis cerita pernah menjumpai sosok ibu dengan
karakter semacam itu, atau bahkan mengalaminya sendiri. Tidak bisa dipungkiri,
di dunia nyata ini ada sosok ibu dengan karakter seperti itu, dan penulis
cerita ingin menunjukkan bahwa “ini lho, ada ibu yang sayang sama anaknya
sampai sebegitunya...”. Kalau memang tujuan film ini hanya sekedar mencuplik
realita dalam kehidupan ini, film ini cukup bagus, karena kedalaman peran ibu
dan anak yang natural. Tapi kalau film ini ditujukan untuk membawakan pesan
moral, saya rasa masih ada yang kurang pas.
That’s
all. Itulah hasil cermatan saya tentang film A Long Visit a.k.a My Mom. Mungkin
terkesan subjektif, dan mungkin saja hasil cermatan orang lain akan berbeda.
But it doesn’t matter, semua orang punya pendapat masing-masing :)
Saya setuju sih, nih ibu cuek bebek sama anak cowoknya, dan perannya benar2 seperti cameo. Kalo tentang syirik, dzalim, dukun dll, apalagi tentang cinta yang berlebihan menurut saya itu tidak masalah selama film itu bukan bertemakan islam, film korea itu jgn dipandang dari sudut ajaran islam, karena sudah pasti beda jauh sama budaya dan kehidupan kita sebagai muslim.
BalasHapusKalau saya jadi anak laki-lakinya sepertinya bisa depresi :D
HapusIya betul, soal tema Islam memang iya sih film itu bukan film Islam, dan tidak bisa dituntut untuk sesuai syari'at Islam. Tapi kalau mau diambil pesan moralnya secara umum (bukan secara Islam saja) juga menurut saya masih kurang pas.
Thanks for the comment Mas Muhammad Nur Hambali :)
Ini hanya film langsung tamat, bukan sinetron yg harus di detailkan serinci mungkin.
BalasHapusJadi kalau masalah ending tentang melamun, itu sepertinya memang skenario film ini yg bawaannya sendu dari awal. Coba kalau endingnya ibunya bahagia, malah ga ngena banget.. Hahaha :D
Toh, itu masih masa berkabung, jadi ya wajar kalau masih sedih..
Ini hanya film langsung tamat, bukan sinetron yg harus di detailkan serinci mungkin.
BalasHapusJadi kalau masalah ending tentang melamun, itu sepertinya memang skenario film ini yg bawaannya sendu dari awal. Coba kalau endingnya ibunya bahagia, malah ga ngena banget.. Hahaha :D
Toh, itu masih masa berkabung, jadi ya wajar kalau masih sedih..