Dipikirnya
keren jadi tentor les begini? Dipikirnya asik sibuk kerja ke sana ke mari?
Sering,
teman-teman menganggapku seperti itu. Dikira itu cita-citaku? Dikira aku
sengaja biar keren? Ooo... tidak. Aku tidak pernah bercita-cita dilahirkan dari
keluarga pas-pasan. Aku tidak pernah bercita-cita jadi mahasiswi yang sibuk
kerja. Tidak pernah.
***
Waktu
itu hujan rintik-rintik membasahi sebagian bumi di mana gedung fakultas yang
sedang aku tempati berdiri. Aku melihat jam tanganku yang paling cantik
sedunia. Jam 13.10, itu artinya 20 menit lagi seharusnya aku sudah berada di
rumah murid lesku. Aku menatap ke luar melalui jendela ruang kuliah.
Kelihatannya gerimis mulai berubah menjadi hujan kecil, dan akhirnya 5 menit
kemudian hujan besar mengguyur kawasan kampusku. Berat. Harus menerobos hujan
demi dua lembar uang 10 ribuan memang berat. Tapi itu bukan hal asing lagi
bagiku. Itu keharusan.
Begitu
Bu Dosen mengakhiri kuliahnya, aku segera keluar kelas. Aku berlari menuju
tempat parkir, tanpa terlalu memedulikan beberapa teman yang memanggil-manggil—untuk
urusan tugas makalah, adik kelas yang minta konsultasi, dan lain-lain. Sempat
lupa di mana kuparkir motor bututku, tapi kemudian ia terlihat di barisan sebelah
kanan dengan helmku—yang juga tak kalah bututnya—tergantung di kaca spion
sebelah kanan. Segera kubuka bagasi motor dan mengambil mantel yang kusimpan di
sana. Cepat-cepat kupakai mantelku yang sudah berhias isolasi untuk menambal
bagian yang sobek, kupasang helm di kepala, kunyalakan motor, dan akhirnya aku
meluncur—tanpa bisa ngebut karena hujan deras membuat jalanan licin.
Sungguh
berbahaya, jika aku terus hanyut dalam lamunan sepanjang perjalanan menuju
rumah Odi, murid lesku. Aku merasakan badanku yang mulai kurus, tenaga yang
mulai berkurang, dan kepala yang tak pernah lepas dari rasa pusing dan penat.
Tak sempat makan, harus terburu-buru dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain, tak
pernah bisa tidur siang, pulang ke rumah kala gelap telah datang tapi tetap
harus bersiap untuk aktivitas esok pagi, itu semua kini sudah menjadi
rutinitasku. Aku adalah pemakan waktu, yang berangkat ke kampus sebelum
teman-teman datang, dan pulang dari kampus setelah teman-teman pulang.
Aku
tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang aku alami. Aku selalu berpikir,
aku bukanlah orang yang beruntung, jadi, aku memang ditakdirkan untuk selalu
berjuang. Seumur hidupku, aku tidak pernah memenangkan undian apapun, termasuk
memenangkan kupon jalan sehat—dapat merchandise-pun
tak pernah. Mungkin terlalu sempit, tapi dari situ aku mengambil kesimpulan,
bahwa aku memang bukan tipe orang beruntung.
Saat
Odi mengatakan bahwa ia merasa kesulitan dengan banyak rumus matematika yang ia
pelajari di sekolahnya—begitu aku sampai di rumahnya—saat itulah aku harus
kembali berjuang membuka mataku lebar-lebar, menahan kantuk berat yang hampir
selalu mendera, dan menahan lapar.
Selesai
membantu Odi belajar, bukannya langsung pulang ke rumah, aku kembali ke
kampus—mengerjakan tugas yang lain. Kini giliran aku membantu adik-adik
angkatan dalam praktikum suatu mata kuliah. Dengan jas panjang warna putih, aku
bersama teman-teman asisten siap memimpin acara praktikum di laboratorium.
Meskipun badan terasa remuk, tapi harus selalu ada semangat yang terpancar. Dan
tidak sepenuhnya aku harus merasa lelah menemani mereka, karena aku senang,
dengan ini aku bisa memiliki banyak adik di kampus.
***
Yang
paling menyenangkan adalah saatnya menghitung uang. Memplot-plotkannya untuk
membayar ini, itu, tetek-bengek kuliah yang tak pernah ada habisnya.
Saat
itu malam yang basah. Air hujan yang jatuh ke genting rumah, menimbulkan suara
khas yang membuat manusia betah dan tidak ingin melakukan aktivitas di luar.
Hawa dingin justru semakin membuat rumah terasa hangat, dan begitu nyaman untuk
manusia beristirahat, memejamkan mata. Tapi aku masih menghitung uang. Lembar demi
lembar kurentangkan, agar jelas, berapa uang yang sudah kukumpulkan.
Tiba-tiba
seseorang mengetuk pintu kamarku. Ibu. Ia kemudian masuk dan duduk di tepi
tempat tidur, tempatku sedang merentangkan uang-uangku—yang sebenarnya tidak
seberapa.
“Sudah
dapat bayaran dari semuanya?” tanya Ibu. Dadanya yang tampak sekali
kembang-kempis jika mengambil nafas membuatku tak kuasa menatapnya.
“Dari
ibunya Odi sudah, dari bantu penelitian Bu Emi sudah, dari bantu kerjaannya Pak
Suratno sudah, bayaran asisten praktikum sudah, tinggal asesoris flanel yang
dititipkan di toko yang belum...” jelasku, sembari tetap menghitung.
Kupikir
Ibu akan menyahut, tapi ia diam saja. “Kenapa, Bu?” tanyaku, seraya
mendongakkan kepala menatapnya.
Ibu
mengalihkan pandangannya dariku.
“Obat
Ibu habis?” tanyaku. “Iya, insya Allah besok jeda kuliah Sita belikan obat ke
apotek biasa. Tenang saja, Bu...” jelasku, sebelum Ibu sempat menjawab.
Ibu
menggeleng. “Ibu dan Bapak malu, Nak...” kata Ibu tiba-tiba.
Menurutku,
Ibu bukanlah tipe orang yang romantis. Ibuku adalah orang yang kaku dan jarang
mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata. Tapi saat ini, kelihatannya ada satu
ketertekanan yang membuat Ibu tak peduli lagi dengan rasa canggung untuk
berterus terang mengenai perasaannya padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar