Oleh:
Nena Fauzia
Kau adalah favoritku di kampus. Bukan berarti aku
gay, tapi kau menjadi favorit bagiku karena keunikanmu menjalani hidup.
Aku memang bukan sahabat dekatmu, tapi bukan juga
musuhmu. Aku hanya sering mengamatimu, karena tabiatku yang analitik menuntutku
untuk menilisik tentang kehidupanmu yang unik.
Kau seperti mahasiswa-mahasiswa “culun” di TV, kata
banyak teman. Tapi untuk beberapa alasan, menurutku tidak juga. Aku menyebut
penampilanmu rapi, cukup begitu. Kau naik sepeda motor bututmu setiap hari, dan
tanpa merasa canggung memarkirkannya dengan tenang di antara motor-motor besar
milik teman-temanmu, termasuk motorku. Kaulah yang pertama kali masuk kelas
untuk kuliah. Dan kau pula yang pertama kali keluar, entah untuk bergegas ke
perpustakaan, atau melaju dengan motor bututmu, ke tempat kau biasa berkumpul
dengan teman-temanmu yang sama rapinya dengan penampilanmu, sesama anggota
organisasi kerohanian.
Saat zaman menuntutmu menjadi “alay” agar bisa
bertahan hidup, kau tetap pada tabiatmu yang lebih banyak diam, santun, dan
kemeja serta celanamu, tetap saja kau gunakan sebagaimana biasanya. Saat
teman-teman meributkan agenda malam minggu, aku justru melihatmu sedang
nongkrong di masjid bersama beberapa teman.
Kau adalah favoritku, karena kau berbeda dari yang
lain. Aku tidak mencelamu, tapi aku hanya menyatakan, bahwa kau tampak
menjalani hidup yang membosankan. Itu yang menarik, dan menggairahkanku untuk
terus mengamati jalannya hidupmu dari waktu ke waktu.
Ingatkah, kau? Suatu sore kita bertemu di sebuah
warung makan dekat kampus. Aku memesan paket nasi dan ayam goreng, sementara
kau hanya memesan dua plastik kecil oseng kangkung dan oseng tempe. Lalu kau
pergi dengan santai sambil melayangkan senyum padaku. Senyum hangat, seperti
biasanya.
Tapi lain waktu aku bertemu denganmu saat shalat
jum’at, aku bisa melihat kau memasukkan selembar uang kertas berwarna hijau
muda ke dalam kotak infaq—aku tetap bisa melihatnya, serapi apapun kau
menutupinya dengan kedua tanganmu.
Dan momen lain, aku melihatmu sedang ikut
mengacung-acungkan tulisan berisi kecaman tindakan korupsi di perempatan pusat
kota bersama dengan teman-temanmu yang juga berteriak-teriak keras, saat aku
sedang jalan-jalan sore. Kau dan rombongan laki-laki berpenampilan rapi di satu
sisi, dan perempuan-perempuan berjilbab dan rok di sisi lain. Aku berdiam
sejenak saat melihat aksimu dan kawan-kawanmu. Baguslah, aku tak perlu
capek-capek berdemo, karena kau dan teman-temanmu telah mewakilinya.
Tak banyak momenku mengobrol denganmu, tapi aku
masih ingat betul, sore itu di masjid kampus, saat hujan sedang deras-derasnya
mengguyur bumi, kita duduk di teras menunggu reda. Saat itulah, kau menyapaku,
dan memberiku kesempatan untuk sedikit mengorek kehidupanmu yang sangat menarik
bagiku itu.
“Assalamu’alaikum, Farid,” salammu padaku.
“Wa’alaikumsalam, Aldi,” jawabku.
“Kau juga lupa tidak membawa jas hujan?” tanyamu.
“Tidak juga, bisa dikatakan aku sengaja
meninggalkannya, karena malas melipat dan memasukkannya ke bagasi motor,”
jelasku.
Lalu kau tersenyum lebar, tapi bukan senyum bangga,
tentu saja. “Bagaimana bisa, Farid? Kau kan tahu sekarang sedang musim hujan.
Aku saja sangat menyesal kenapa tadi aku berangkat buru-buru, padahal biasanya
aku tak pernah lupa membawanya. Memang setan sangat senang menyuruh kita untuk
berlaku buru-buru, inilah salah satu akibatnya, membuang waktu untuk menunggu
hujan reda.”
Itulah dirimu. Topik apa saja yang kau bicarakan,
kau selalu membawa filosofi agama atau kearifan-kearifan dalam hidup. Aku
pernah mendapatimu bercanda, tapi tak sesering orang-orang pada umumnya.
Membosankan, dan semakin menarik bagiku.
“Aldi, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
tanyaku kemudian.
“Tentu saja,” jawabmu antusias.
“Apakah kau pernah bersenang-senang?” tanyaku
tandas.
Kau mengernyit, lalu tersenyum—lagi. “Tentu saja,
fitrah manusia menyukai kesenangan,” jawabnya.
“Maksudku, pernahkah kau sekedar nongkrong di
alun-alun kota bersama teman-teman atau nonton konser?”
Kau terdiam sejenak lalu menepuk pundakku. “Itu
kesenangan yang kau maksud?” Kau malah bertanya. “Pelajarilah konsep kesenangan
atau kebahagiaan yang sebenarnya, kawan. Sekarang. Justru karena kita masih
muda.”
Hujan memang mulai mereda, sehingga ada alasan
bagimu untuk membiarkanku mengambang dalam keadaan penasaran. Kau pun segera
bergegas setelah mengucap salam padaku.
Aku memilih tak langsung pulang karena sebenarnya
gerimis kecil masih berantai turun. Kurebahkan tubuh di teras masjid sambil
terus mencermati kata-kata terakhirmu dalam percakapan tadi. Kau bilang aku
harus mempelajari konsep kesenangan yang sesungguhnya. Bukankah aku sudah
sering mendengarnya? Di twitter, facebook, blog, yang ditulis oleh orang-orang yang menyatakan diri sebagai trainer dan terkesan menjadi orang yang
paling bahagia di dunia ini. Tapi itu konsep yang berbeda, aku tak pernah
melihat ada sisi membahagiakan yang membuat hidupmu bahagia, Aldi.
Saat iseng memejamkan mata, aku malah tertidur, dan
terbangun karena dering ponselku yang terdengar memburu—setidaknya menurut
perasaanku. Saat kuangkat, jawaban atas perasaanku yang tak enak pun muncul,
aku mendapat kabar bahwa kau baru saja mengalami kecelakaan, dan meninggal di
tempat.
Tak perlu kuungkapkan sehebat apa kekagetanku, saat
itu aku justru terus terdiam di teras masjid.
***
Ramainya orang yang datang takziah ke rumahmu yang
tak bisa dikatakan dekat dari kampus, ramainya ucapan belasungkawa di jejaring
sosial, dan ramainya blog-mu yang
menjadi buah bibir banyak orang sebagai blog
penuh inspirasi, cukup menjadi sedikit tanda banyaknya orang yang mencintaimu.
Saat itu, aku melihat berbagai piagam penghargaan,
plakat, medali, buku-buku karyamu yang terpajang rapi di rumahmu. Aku pun
membatin, tidak bisakah sejak dulu kau menunjukkan prestasimu pada orang-orang?
Agar orang-orang sepertiku mengerti bagaimana bergunanya hidupmu yang
kelihatannya “membosankan” itu?
Kubaca semua artikelmu di blog, yang sebelumnya hanya selalu kulihat sebagai link yang membosankan di facebook. Ada konsep kebahagiaan yang
kau bahas di sana—bahkan saking rendah hatinya dirimu, kau tak langsung
menyuruhku membaca blog-mu, kau hanya
menyuruhku belajar, tak mendikteku untuk melihat kehebatanmu menulis dan
membahasnya.
Satu yang kupegang dari apa yang sudah kau ajarkan
padaku melalui peninggalanmu yang abadi itu, bahwa kau menjadi bahagia karena
kau berguna. Sekarang, justru karena kita masih muda.
Aku merasa bahagia ketika aku nongkrong atau nonton
konser. Tapi kini aku berani mengatakannya sebagai kebahagiaan tanpa harga
diri. Menuntut idealisme pun aku lebih memilih untuk diwakili.
Dan kini aku pun berani mengatakan, aku ingin hidup
seperti dirimu, meski telah tiada, kau masih tetap bisa berbagi dengan orang
lain, dan membuat mereka bahagia dengan apa yang kau bagi itu.
28 Oktober 2012, tepat di tanggal itu, kau
berpulang, wahai pemuda. Pemuda yang bangkit, bukan berarti harus pamer fisik. Kontribusimu
dalam nilai-nilai yang kau sampaikan dan amalkan, itulah yang membuat hidupmu
bukan sekedar bahagia, namun juga berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar