“Ibu
dan Bapak malu tidak bisa membiayai kuliahmu sepenuhnya,” lanjutnya. “Kami justru
mengandalkanmu membiayai kebutuhan kuliahmu sendiri. Bahkan, untuk membeli obat
asma pun Ibu harus meminta darimu...”
Perlahan
tapi pasti, air mata Ibu menetes membasahi pipinya yang mulai keriput. Bapak
masih belum pulang dari pekerjaannya—pekerjaan yang kata Ibu tak sepadan dengan
beban kerjanya. Itu adalah pekerjaan insidental, jika dipanggil Bapak akan
datang, jika tidak maka Bapak menganggur. Sekali dipanggil, Bapak harus
berangkat dari pagi-pagi buta dan pulang petang hari. Bapak harus mengepul kwintalan
gula untuk diangkut dan dikirim ke tempat tujuan, lintas kabupaten. Aku juga
sebenarnya tak tega jika Bapak harus menjalani pekerjaan itu, tapi mau
bagaimana lagi, usaha Bapak sebelumnya telah mengalami kebangkrutan, tidak ada
jalan lain kecuali menerima pekerjaan insidental itu.
Ibu
mengusap pipinya yang dialiri air mata. “Kalau Ibu punya uang, pasti Ibu akan
membelikanmu jaket dan sepatu baru...” kata Ibu sambil menoleh ke arah
gantungan bajuku yang dipenuhi oleh baju-baju setengah kotor. Di salah satu
gantungannya, tergantung jaketku yang sudah lusuh dan sobek di bagian lengan,
yang masih aku pakai karena tak ada pilihan lain.
Aku
menggeleng. “Ndak apa-apa, Bu, jaket Sita masih bisa dipakai kok...” kataku
menenangkan, meski jujur, aku pun terkadang merasa malu jika orang-orang
memandangi bagian jaketku yang sobek itu.
“Ibu
masih sering terpikir, kenapa saat kamu masuk kuliah, justru saat usaha Bapakmu
bangkrut?” ujar Ibu, dengan pandangan menerawang.
“Kalau
itu di luar apa yang sudah kita upayakan, berarti hanya ada satu kemungkinan,
itu adalah takdir, Bu...” kataku, seraya memasukkan uang yang telah kuhitung
dengan seksama ke dalam dompetku yang lagi-lagi juga sudah usang. Aku tak tahu
apakah karena aku memang tidak pandai merawat barang-barang kepunyaanku, atau
karena memang benar-benar barang-barang itu sudah saatnya diganti.
“Ibu
minta maaf ya, Nak...” kata Ibu akhirnya, malah meminta maaf.
Aku
menggelengkan kepala. “Sita ndak perlu memaafkan Ibu, karena memang tidak ada
yang perlu dimaafkan...” kataku. Untung aku tidak diciptakan sebagai gadis yang
rentan untuk menangis, jadi aku tidak perlu repot-repot membersihkan air mata.
“Maaf...”
gumam Ibu.
Aku
hanya bisa memeluknya. Semoga bisa memberikan sedikit ketenangan bagi hatinya
yang tengah gundah.
***
Saat
pagi menjelang, dengan bersin-bersin yang mengiringi, aku berangkat menuju
kampus. Cukup semangat di pagi ini, karena siang nanti aku akan menabungkan
sebagian uang hasil jerih payahku, untuk persiapan tugas akhir semester depan.
Ya, cukup semangat, meski aku harus berangkat ke kampus dengan naik bus dan
angkot, karena tiba-tiba motorku mogok, minta menginap di bengkel.
Tanpa
jadwal les, hari ini aku bisa leluasa mengerjakan tugas kelompok bersama
teman-teman dan jadwal menemani adik-adik untuk praktikum pun siang hari, jadi
aku bisa pulang sore—yang menurutku sudah termasuk pulang awal. Aku pun sempat
makan siang bersama teman-teman. Hari seperti inilah yang aku sukai, tidak
membuat kepalaku menjadi terlalu berat dan badanku terasa remuk. Namun sayang,
ada satu yang terlupa.
Hingga
akhirnya aku pulang sekitar pukul 4 sore. Awan hitam menggelayut di langit.
Ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah, aku tidak mau kehujanan di jalan.
Tapi bus yang menuju daerahku tidak kunjung berangkat dari terminal tempatku
menunggu—seperti pengalaman sebelumnya, aku lebih senang menunggu bus di
gerbang keluar terminal.
Beberapa
menit kemudian sebuah bus yang menuju ke daerahku muncul. Tak peduli bus itu
sudah penuh, aku segera menaikinya—daripada kehujanan, pikirku. Alhasil, aku
pun harus rela berdiri berdesakan dengan penumpang lain—pasti mereka juga
buru-buru pulang karena menghindari hujan.
Ternyata
hampir semua penumpang memiliki tempat tujuan yang jauh, jadi hingga mendekati
daerahku, penumpang bus itu masih tetap penuh. Aku harus rela tetap berdiri
selama kurang lebih setengah jam. Tidak ada firasat apa-apa ketika tiba-tiba
seorang bapak berpakaian PNS menyenggolku cukup keras.
***
Benar
saja. Uangku raib. Uang dengan jumlah cukup besar. Uang yang akan kutabung
untuk persiapan tugas akhir. UANG HASIL JERIH PAYAHKU.
Selama
beberapa hari aku tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Mungkin bagi orang lain,
uang sejumlah itu tidak begitu besar, tapi bagiku, bagiku itu sama sekali bukan
uang yang sedikit. Untuk mengumpulkannya, aku harus rela tidak sempat makan,
menahan kantuk, menahan berat di kepala, flu. Lalu uang itu hilang... Bagaimana
urusannya? Kenapa sesuatu yang sulit didapat tapi begitu mudah hilang dari
genggamanku? Apakah usahaku masih kurang keras juga?
Hampir
saja aku mengumpat kesal dan mulai menyalahkan siapapun untuk melampiaskan
perasaanku seandainya Bapak tidak datang dan menenangkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar