“Nak,
jangan bosan untuk selalu ingat, bahwa semua yang terjadi dalam hidup manusia
pasti ada hikmahnya. Jangan kira bahwa karena kita orang baik-baik, kita tidak
pernah diberikan cobaan. Justru untuk menguji iman dan kesabaran kita, kita
pasti akan diberi cobaan. Bukankah untuk naik kelas seorang murid harus
menjalani ujian lebih dulu?” jelas Bapak.
Waktu
itu aku hanya bisa diam menundukkan kepala.
“Bapak
tahu kamu kuat,” katanya.
***
Melanjutkan lebih mudah daripada memulai.
Tetapi memulai jauh lebih mudah daripada mengulangi, karena saat mengulangi,
ingatan buruk akan pengalaman sebelumnya akan menghantui. Dan itu adalah hal
berat bagiku. Aku harus mengulangi semua perjuanganku, untuk kembali berjerih
payah mendapatkan beberapa lembar uang.
Bapak
dan Ibu tak pernah menyalahkanku atas apa yang terjadi beberapa hari yang lalu.
Itu cukup membuatku merasa tenang, dan berusaha mengikhlaskannya. Toh rezeki
sudah ada yang mengatur, Dia tak tidur, Dia melihat perjuangan kita.
Hari
ini aku pergi ke kampus dengan energi sepiring nasi goreng—ada nasi sisa
kemarin, lebih baik digoreng saja daripada harus beli lauk lagi, begitu pikir
Ibu. Perhitungan yang cermat memberi kesimpulan padaku bahwa hari ini tak ada
jatah uang untuk makan siang di kampus. Untung saja, sepiring nasi goreng cukup
bagiku untuk bertahan sampai maghrib, yang penting aku tak boleh lupa membawa
air minum sendiri. Nyatanya, saat siang datang Allah memberiku rezeki lewat
temanku yang memberiku dua potong brownies
yang ia bawa ke kampus, alhamdulillah.
Selepas
dzuhur aku harus bergegas ke toko asesoris tempatku menitipkan asesoris flanel
karyaku. Berapa buahpun yang sudah terjual, aku tak boleh malu untuk mengambil
uangnya—karena aku butuh, sangat butuh. Setelah pemilik toko menghitung,
ternyata hanya beberapa buah bros kecil yang terjual, dan uang yang bisa
kukantongi hanya 12.000 rupiah saja. Tak apa, itu cukup bagiku untuk
berjaga-jaga agar dompetku cukup tebal, meski dengan lembaran seribuan.
“Kebiasaan!”
Kudengar
suara keras seorang wanita dari warung makan di sebelah toko asesoris. Aku
melihat seorang bujang kecil di depan warung itu. Tubuhnya didorong-dorong
keluar oleh seorang ibu berperawakan tinggi besar.
“Diajarin
siapa kamu?!! Kecil-kecil ngutilin makanan! Pergi sana! Jijik liatnya!” omel
ibu itu.
Si
bujang tampak menahan tangis. Di tangannya masih ada sepotong tempe goreng yang
terlihat bergoyang-goyang karena si bujang gemetaran. Kelihatannya lidahnya
kelu untuk sekadar mengutarakan pembelaan diri.
Ibu
itu tampak sangat kesal melihat si bujang tak juga beranjak dari tempatnya
berdiri. “Kenapa lagi????” Ibu itu menoyol kepala si bujang dengan kasar di
depan mataku. Ingin kucegah, tapi terlambat. “Mau kupukul pake sapu, heh???”
Ibu itu tampak bersiap memukul si bujang dengan sapu yang tersandar di tembok.
“JANGAN!”
akhirnya suaraku keluar juga.
Ibu
itu tampak kaget melihatku. Ekspresi garangnya tampak berkurang. “Tidak usah
ikut campur, Mbak. Anda tidak tahu si yatim ini sudah ngutil berapa kali!” ujar
ibu itu, berusaha membenarkan tindakannya.
Aku
sendiri bertambah kaget mendengar ibu itu berkata bahwa si bujang kecil itu
adalah anak yatim. Justru karena itulah,
tak seharusnya ibu bertindak seperti itu, batinku.
“Saya
bukannya ingin ikut campur, saya cuma tidak ingin Ibu mendapat masalah karena
menyakiti seorang anak, apalagi anak yatim,” kataku.
Ibu
itu tampak tersenyum meremehkan. “Jelas Anda bisa bicara seperti itu, wong Anda tidak merasakan kerugiannya!”
“Memang
berapa yang anak ini ambil kalau dirupiahkan?” tanyaku cepat.
“Kenapa?
Mau ganti rugi???” ujar Ibu itu menantang.
“Katakan
saja berapa, Bu,” kataku tegas.
Ibu
itu memainkan mulutnya—yang pasti akan membuat seseorang kesal jika melihatnya.
“Dua puluh ribu!” katanya ketus.
Aku
mengambil dompetku dan mengambil beberapa lembar uang. “Saya bayar lima belas
ribu dulu. Besok saya akan ke sini lagi membayar kurangannya,” jelasku tegas,
lalu menggamit tangan si bujang dan pergi dari warung makan itu.
Aku
berhenti berjalan agak jauh dari warung makan tadi, lalu berjongkok dan menatap
si bujang.
“Kamu
tidak bermaksud mencuri makanan itu kan, Sayang? Kamu kelaparan, ya?” tanyaku
pelan.
Si
bujang tampak bingung, menatapku nanar. Tempe goreng yang masih ada di tangannya
kembali bergoyang gemetaran.
“Jangan
takut sama Kakak, Kakak ndak akan marahin kamu,” lanjutku.
“Ridho!”
Belum
selesai proses interogasiku, kembali kudengar suara wanita yang cukup keras di
dekat kami, tapi itu jelas bukan suara si ibu pemilik warung tadi. Aku dan si
bujang menoleh. Di sana sudah berdiri seorang wanita berkulit hitam lusuh,
mengenakan topi butut dan menggendong seorang bayi.
“Mau
dibawa ke mana anak saya, Mbak???” tanyanya marah padaku. Ridho, si bujang itu,
melepas genggamanku dan berlari ke arah sang ibu. “Tidak usah sok menasehati
anak saya, saya juga tahu Mbak akan bilang kalau mencuri itu dosa. Memangnya
kenapa kalau dosa? Memangnya Mbak mau nguburin mayat saya dan anak saya kalau
kami mati kelaparan? Nggak usah pedulikan dosa kami akibat mencuri,” jelasnya
cepat. “Ayo kita pergi!” Ia lalu menggamit Ridho dan pergi meninggalkanku yang
masih tercengang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar