Poster Film The Hunger Games
Cover Novel The Hunger Games
Kakak saya hobi menyewa film dari rentalan. Terkadang film
yang beliau sewa bagus, tapi tak sedikit juga yang salah pilih (piss, sista
:D). Yang terakhir, beliau menyewa dua film, The Hunger Games dan Mirror
Mirror. Waktu saya melihat The Hunger Games yang beliau sewa, saya langsung
berkomentar, “ini baru benar!” Tumben, kakak saya berhasil menyewa film box
office. Kakak saya selalu memasuki rentalan film dengan buta—ya, buta film.
Tidak seperti saya yang sering repot-repot cari referensi by googling sebelum
memilih film, kakak saya langsung saja pergi ke rental dan memilih di
sana—hanya berpedoman pada sinopsis yang kadang tidak sesuai dengan
ekspektasi. Mungkin karena beliau memang
sibuk bekerja, sehingga tak sempat cari-cari referensi seperti saya. Saat
mendengar komentar saya itu, kurang lebih beliau hanya bilang, “aku melihat
poster film itu dipajang di kaca depan rental.” Aku bersyukur rentalan memajang
poster film itu di sana :D
The Hunger Games adalah film jawara box office tahun lalu. Saya
dan kakak saya sama-sama penggemar film, tetapi juga sama-sama tak pernah pergi
ke bioskop. Ketika ada film bagus rilis, kami tak pusing-pusing meluangkan
waktu ke bioskop. Dengan sabar, kami menunggu vcd atau dvd film itu disewakan
di rentalan. Kami berdua punya prinsip, menikmati film bukanlah harus buru-buru
saat film masih fresh supaya kita bisa ikut nimbrung ketika orang-orang ribut
membahasnya. Kami mengedepankan kenyamanan dalam menonton. Menonton di rumah
adalah cara paling nyaman buat kita. Kita bisa menonton sambil makan rujak
(bukan hanya makan popcorn), tiduran, tengkurap, dan yang paling asyik, kita
bisa mem-pause film ketika kita harus melakukan sesuatu tetapi tak ingin
ketinggalan setiap adegannya—misalnya ke kamar mandi, mengangkat jemuran, atau
disuruh Ibu membeli garam di warung. Meski kami menonton dalam kondisi film
‘sudah basi’ dalam bahasan orang-orang, tetapi bagi kami intinya tetap sama:
kita dan mereka sama-sama sudah nonton! ^_^
OK, saya tidak akan membahas terlalu banyak mengenai
kebiasaan kami menonton film di rumah. Karena, inti dari tulisan ini adalah
mengenai komentar saya terhadap isi cerita film The Hunger Games. Sebelum
memasuki inti, saya ingin mengingatkan kepada siapapun yang membaca artikel
ini, bahwa ini hanyalah pendapat saya, dan murni saya tuliskan dari apa yang
ada di benak dan pikiran saya setelah saya menonton film ini.
Ketika film ini baru rilis di negerinya, saya membaca
sinopsisnya sekilas. Dari posternya pun sudah kelihatan, ini film action
fantasi. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan film action, apalagi
panah-panahan, seperti gambar posternya. Tapi karena film ini menjadi jawara
pada saat itu—dengan arti banyak orang yang suka, saya pun bersemangat ketika
kakak membawa pulang vcd sewaannya ke rumah. Saat saya mulai menonton, rasa
tertarik pun langsung muncul. Ternyata ini bukan sekedar film action fantasi,
tapi juga thriller. Thriller adalah salah satu genre film favorit saya. Tak pelak
lagi, langsung saya habiskan film itu hari itu juga.
Bagi yang sudah menonton, pasti sudah hafal dengan jalan
ceritanya. Bisa ditebak dari judulnya, The Hunger Games adalah film yang bercerita
tentang sebuah permainan. Tadinya, saya pikir film ini akan menonjolkan
keunggulan utama dari kemampuan sang lakon dalam menjalani permainan hingga
sukses sampai akhir. Tetapi lebih dari itu, film yang diangkat dari novel karya
Suzanne Collins ini menunjukkan tentang potret dunia yang saat ini tengah
terjadi, lewat berbagai macam sindiran a la TV show dan orang-orang dengan
dandanan mencolok a la opera yang ditunjukkan dalam film ini. Kalau boleh saya
bilang, film ini adalah sebuah parodi dari kenyataan hidup yang terjadi
sekarang.
Film The Hunger Games punya setting negara tersendiri.
Tadinya saya menduga ini dikarenakan film ini merupakan film fantasi, tetapi
saya tidak melihat adanya penjelasan apapun di awal—tak ada narator yang
terlebih dahulu bercerita, “dahulu kala, di sebuah negeri ratusan tahun yang
lalu, bla bla bla...” atau “di sebuah negeri tak terjamah, bla bla bla...”—film
ini hanya memunculkan penjelasan singkat secara tertulis, yang intinya
menjelaskan bahwa The Hunger Games merupakan nama sebuah permainan yang
merupakan tradisi sebuah negara bagian yang dalam film itu hanya disebut sebagai
‘The Capitol’. Setelah saya menilik wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/The_Hunger_Games),
ternyata dalam novelnya dijelaskan bahwa negara latar cerita The Hunger Games
berada pada zaman apokalips bernama Panem—ya pantes, fantasi banget.
Permainan ini diciptakan dalam sebuah perjanjian atas
pengkhianatan karena dahulu terjadi pemberontakan dari 12 distrik yang berada
di bawah kekuasaan The Capitol. Setiap tahun, keduabelas distrik harus
mengirimkan 1 orang remaja laki-laki dan 1 orang remaja perempuan untuk
mengikuti The Hunger Games sebagai bentuk ‘penebusan dosa’ atas pemberontakan
yang pernah mereka lakukan—meskipun mungkin para pemberontak yang asli sudah
meninggal jauhari sebelumnya, dan para remaja yang sekarang terlibat dalam
permainan itu pun tak pernah menyaksikan pemberontakan yang selalu
disebut-sebut oleh para bangsawan dari The Capitol itu. Yang semakin membuat
permainan ini terlihat mengada-ada, hanya ada satu pemenang dari permainan ini
dengan semua lawan (23 orang) harus mati—entah karena terbunuh atau karena
terkena jebakan, infeksi, keracunan, dehidrasi, dsb. Saat saya mencari arti
kata ‘hunger’ di kamus, artinya pun menunjukkan kesan permainan itu, yaitu
kelaparan atau keinginan yang amat sangat. Ya, ketika seorang pemain The Hunger
Games ingin menang, ia akan menjadi seseorang yang ‘kelaparan’ dan tega
menghabisi para remaja yang seharusnya bisa ia jadikan teman.
The Hunger Games mengharuskan para pemain tinggal di sebuah
wilayah hutan—yang ternyata di-setting sedemikian rupa oleh Gamemaker,
seseorang yang dipercayai presiden The Capitol untuk mengatur dan mengontrol
jalannya permainan. Awalnya saya kira 24 remaja itu dilepas di hutan belantara
real, tetapi ternyata mereka dilepas di sebuah hutan buatan Gamemaker. Bahkan
dunia penduduk negara itu pun ‘buatan’, dengan pimpinan teratas seorang
presiden. Mereka harus saling membunuh, berebut perbekalan, menghindari
jebakan-jebakan yang di-setting Gamemaker, atau setidaknya bertahan hidup
sendiri. Sampai akhirnya yang tersisa hanya satu orang pemain, dan ialah yang
akan menjadi pemenangnya. Setidaknya ‘pemenang’ menurut apa yang di-setting
Gamemaker.
Jelas sudah, negara dalam film ini tak mungkin ada di dunia
ini, karena kita punya HAM. Tapi benarkah itu? Benarkah negara seperti negara
pembuat The Hunger Games ini tidak ada di dunia ini? Jika kita merenung lebih
dalam, maka akan jelas terlihat bahwa permainan seperti The Hunger Games
hanyalah sebuah parodi kecil dari apa yang sedang terjadi di dunia ini. Sebuah
skenario saling menghancurkan dengan janji kemenangan tengah dijalankan oleh
seorang ‘Gamemaker’ dan kita semua di dunia ini sebagai pemainnya! Inilah inti
yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.
Saya menikmati alur cerita film ini, meski dengan penuh rasa
ngeri, sebagai sebuah film fantasi biasa—yang ingin menyatakan bahwa ‘di dunia
manapun, kebaikan akan selalu menang’—seperti ketika saya menonton Harry
Potter, Narnia, Lord of The Rings, dsb. Namun anggapan itu perlahan mulai
berubah ketika saya melihat bahwa permainan di The Hunger Games ternyata
disiarkan sebagai sebuah TV show di negara tersebut, dan ditonton oleh semua
penduduk dari 12 distriknya. Dalam film ini diceritakan bagaimana Gamemaker
meminta pertimbangan-pertimbangan presiden ketika The Hunger Games sedang
berlangsung, bagaimana sebuah drama percintaan digembar-gemborkan oleh
presenter yang layaknya seorang komentator sepak bola ketika menyiarkan tentang
jalannya The Hunger Games, bagaimana Gamemaker selalu berpikir agar The Hunger
Games terlihat sebagai sebuah tontonan yang menarik bagi masyarakat (tanpa
peduli permainan itu akan mengambil 23 nyawa remaja), bagaimana seorang
penasehat tiap distrik (dalam hal ini distrik 12 yang merupakan distriknya sang
tokoh utama) menasehati bahwa si tokoh utama, Katniss Everdeen, harus menjawab
bahwa ia memang benar-benar mencintai teman satu distriknya, Peeta, agar
Gamemaker dan penonton senang, bagaimana Katniss dan Peeta terlihat saling
jatuh cinta saat menjalani permainan namun saat pulang ke distriknya sebagai
pemenang mereka menyatakan harus melupakan semua apa yang sudah terjadi di
antara mereka, dan bagaimana sewenang-wenangnya Gamemaker dalam membuat aturan
permainan dengan tujuan mengocok emosi pemirsa. Ketika Katniss berhasil menjauh
dari musuh-musuhnya dalam permainan, hingga terlalu jauh dan tidak terjangkau,
Gamemaker menyuruh para stafnya untuk menciptakan kebakaran hutan sehingga
Katniss harus kabur dari tempat persembunyiannya dan mendekat ke area
musuh-musuhnya. Ketika kisah cinta Katniss dan Peeta menjadi menarik di mata
pemirsa, Gamemaker mengubah peraturan The Hunger Games, bahwa pemenangnya boleh
dua orang, asal sama-sama dari satu distrik. Untuk menggiring Katnis dan Peeta
bertanding dengan seorang lawan lagi yang bernama Cato, Gamemaker pun menyuruh
stafnya membuat anjing ganas untuk mengejar mereka hingga mereka lari dan
bertemu Cato. Namun ketika Katniss dan Peeta berhasil memenangkan permainan,
Gamemaker mendadak mengumumkan bahwa peraturannya kembali ke awal, bahwa hanya
boleh ada satu pemenang. Ketika Katniss dan Peeta memutuskan untuk sama-sama bunuh
diri, Gamemaker menghentikannya, dan akhirnya mereka berdua tetap bersama-sama
menjadi pemenang The Hunger Games. Adegan di bagian akhir, meski tidak
ditunjukkan secara langsung, Gamemaker bunuh diri dengan memakan buah berry
beracun, karena ia merasa gagal menjalankan permainan itu. Katniss tak mau
membunuh Peeta, tidak seperti kehendaknya.
Terlepas dari ide cerita yang GILA karena menggampangkan
penciptaan makhluk dan kejadian—kebakaran hutan, anjing ganas, dan segala yang
ada di permainan itu diciptakan dengan teknologi komputer oleh Gamemaker dan
para stafnya—sekali lagi, film ini sebenarnya merupakan parodi dari kehidupan
saat ini, bahwa ada ‘Gamemaker’ menyetting berbagai huru-hara yang terjadi di
dunia saat ini.
Sebutlah, USA dan para sekutunya, yang Yahudi, atau
berpehamaman buruk itu. Apa sih yang sekarang tidak berada ‘di bawah kendalinya’?
Bahkan sampai pada hal-hal yang tak disadari pun kini berada di bawah
pengaruhnya. Dunia ini bagaikan ajang permainan bagi pihak-pihak tersebut.
Dibikin kacau, diadu domba sana-sini, dibikin ribut. Dan kenapa kita mau
dibikin ribut? Karena ada harapan kemenangan yang diiming-imingkan di sana,
sehingga para boneka yang diadu memiliki ‘hunger’. Dan kenapa mereka membuat
permainan ini? Tidak lain karena dengan membuat, maka merekalah yang otomatis menang.
Semua diatur sedemikian rupa agar semua berada di bawah kehendaknya, dan bukan
mereka yang menang dalam permainan yang menjadi pemenangnya, tetapi si pengatur
permainan itulah pemenang sebenarnya. Meski melalui jalan yang BURUK.
Mereka menggunakan segala macam taktik, menyetting berbagai
keadaan, dan menetapkan peraturan yang sewenang-wenang seperti Gamemaker dalam
The Hunger Games untuk mengadu domba orang-orang, atau golongan-golongan, atau
bahkan bangsa-bangsa sehingga mereka pada akhirnya porak-poranda dan sang
Gamemaker-lah yang menang. Jika Gamemaker dalam The Hunger Games menciptakan
permainan itu dengan alasan sebagai bentuk penebusan dosa atas pemberontakan
orang-orang dari distrik, maka, sebagai contoh, Yahudi menciptakan peperangan
dengan alasan membela haknya sebagai bangsa yang dulu mengalami tragedi
Holocaust. Jika Gamemaker menciptakan kebakaran hutan untuk menggiring Katniss
mendekat kepada musuhnya, maka Amerika mengebom gedung tertingginya untuk
melancarkan tuduhan teroris kepada umat Islam sehingga memancing kerusuhan. Dan
lebih luas, mereka melakukan permainan semacam The Hunger Games untuk seluruh
dunia, sehingga mereka benar-benar berkuasa atasnya. Mereka tak pernah sadar,
mereka bahkan tak punya kuasa untuk menurunkan air hujan dari langit.
Sebagai muslim, saya benci dengan hal ini, yang menganggap
orang lain, golongan lain, bangsa lain, sebagai boneka. Saya percaya dengan
satu kemenangan, yaitu kemenangan Islam. Allah menjanjikan kemenangan bagi
Islam, itu mutlak. Kenapa saya sangat percaya? Karena Islam akan menang dengan
cara apapun yang Allah kehendaki. Tak perlu kami repot-repot merancang
permainan, mengadu domba, membikin huru-hara, itu hal yang PAYAH. Ketika dunia
ini damai, dan umat agama lain tak menyerang kita secara frontal, Allah pun
melarang kita menyerang mereka secara frontal. Kita cukup hidup apa adanya
sebagai seorang muslim, berdakwah secara santun, tidak neko-neko, TIDAK
MENEROR. Bagi mereka yang cerdas, mereka akan dengan sendirinya jatuh cinta
dengan ajaran kita. Satu per satu akan meminta bergabung dengan kita, dan
perlahan tapi pasti Islam-pun menang. Dan jika dunia ini ribut, mereka
menyerang kita secara frontal, barulah kita diperbolehkan balas menyerang,
namun itupun dengan berbagai kesantunan yang juga seharusnya menyadarkan di
antara mereka yang cerdas. Islam akan menang, itu mutlak.
Ketika dunia ini sudah terlanjur ‘di bawah kendali’ mereka
(hanya kiasan, karena kendali tertinggi tentu hanya pada Allah SWT), maka kita
harus bertindak melawan aturan permainan mereka. Seperti Katniss, yang tidak
mau membunuh Peeta, tapi malah memutuskan bunuh diri bersama-sama, karena bukan
kemenangan di mata orang-orang yang ia cari, namun solidaritas—bukan bermaksud
menyatakan bahwa bunuh diri dan cinta-cintaan sebelum nikah itu boleh, tetapi
hanya mengambil hikmah atas keputusannya ‘membangkang dari peraturan’. Toh
akhirnya Gamemaker malah bunuh diri. Jangan kita terus hanyut dalam aturan yang
mereka buat dan akhirnya menjadi budak mereka, tetapi bagaimana kita melangkah
keluar hingga dapat menjatuhkan mereka dan kemenangan pun ada di tangan kita,
ISLAM. Jangan dahulu berpikir terlalu berat. Bahkan Syaikh Adnan A’li
Ar-Rantisi, imam besar Masjid Gaza Palestina, ketika ditanya seorang pemuda di
Masjid Fatimatuzzahra Purwokerto tentang bagaimana upaya yang dapat dilakukan
pemuda Indonesia untuk membantu dalam konflik di Palestina, beliau hanya
menjawab bahwa cukup shalat berjamaah secara rutin selama satu tahun penuh dan
menghafal Al-Qur’an, beliau tidak menyuruh pemuda itu untuk berangkat berperang
ke Palestina.
Salah satu yang juga mencirikan bahwa film ini adalah sebuah
parodi, yaitu make up penduduk The Capitol yang berlebihan. Semua penghuni The
Capitol berdandan a la festival. Singkat saja, poin ini mencirikan banyaknya
manusia yang memakai ‘topeng’ untuk menutupi jati diri mereka. Mereka, orang-orang
The Capitol itu, bahkan sangat menikmati setiap jalannya The Hunger Games.
The Hunger Games adalah parodi ringan dari apa yang terjadi
di dunia, dan juga, parodi berat dari TV show yang sekarang sedang menjamur di
dunia pertelevisian termasuk Indonesia. Dulu, saya sempat percaya bahwa reality
show adalah benar-benar kejadian nyata yang direkam kamera, tetapi semakin ke
sini, saya semakin sulit membedakan mana yang ‘reality’ show dan mana yang
sinetron. Saya mulai curiga ketika reality show mulai lebay dalam menampakkan
kesedihan orang-orang dalam acara tersebut, atau jalan ceritanya seperti sudah
tertebak layaknya di sinetron. Semuanya ternyata hanya settingan.
Ketika rating reality show tersebut turun, maka salah satu
cara jitu adalah meramu cerita yang dapat menarik pemirsa—yang paling sering
adalah mengeksploitasi kesedihan dengan memaksa orang-orang dalam reality show
tersebut menangis. Kalau belum menangis, maka sang host akan memancing,
memancing, dan memancing terus sampai ia sesenggukan sendiri. Cara jitu kedua
adalah, meramu kisah cinta lokasi—ini seperti yang terjadi di The Hunger Games,
dan di sana ditunjukkan bahwa penonton menyukainya. Terkadang sang pembuat
acara hanya membumbui apa yang sudah terjadi secara nyata, tetapi tak jarang
juga, mereka tidak hanya sekedar membumbui, tetapi membuatnya dari awal.
Manusia memang senang berkhayal, sehingga mereka tak tertarik jika apa yang
ditayangkan di TV datar-datar saja seperti hidup mereka. Kalau boleh, saya
menganjurkan reality show yang pura-pura real untuk mengaku secara baik-baik
bahwa kisah dalam acara mereka HANYA FIKTIF BELAKA.
Well, semua bersimpul pada evaluasi fenomena yang terjadi
saat ini. The Hunger Games hanya sebuah film, yang saya analisa menurut jalan
pikiran saya—entah sejalan dengan pemikiran si penulis novel dan sutradara
film-nya atau tidak. Tetapi yang jelas, apalah arti fasilitas blogging jika
saya tak boleh menulis apa yang ada dalam pikiran saya ini? Saya pun tak pernah
mengira, bahwa pemikiran saya jika dituliskan ternyata sebanyak ini.
Dan, setelah saya selesai menulis artikel ini, saya iseng menilik
tribunnews (http://www.tribunnews.com/2012/03/22/kisah-the-hunger-games-terinspirasi-perang-irak)
terlebih dulu sebelum memposting artikel ini ke blog. Saya mendapati bahwa
ternyata Suzanne Collins memang benar-benar menulis novel ini karena terinspirasi
dari fenomena reality show yang diikuti para pemuda untuk memperebutkan jutaan
dollar, sementara saat itu juga ia melihat sebuah perang sedang terjadi di
belahan dunia lain, yaitu Irak. Ia bahkan mengunggah sebuah video di youtube
yang menegaskan bahwa ia tengah berusaha menggugah sikap kritis pemuda atas apa
yang sedang terjadi saat ini.
Meski saya tidak bilang novel dan film ini 100% bagus, saya
salut. Novel dan film ini benar-benar bisa menerjemahkan kritikan ke dalam
sebuah film yang juga dapat dipahami oleh orang awam seperti saya. Dan satu hal
lagi, karena ini novel dan film kritikan, maka ia hanya digunakan untuk
menyadarkan kita yang belum sadar terhadap fenomena yang sedang dikritisi itu,
bukan menjadi contoh bulat-bulat J