Begitu banyak kebahagiaan yang kau buat untukku. Candaan untuk orang yang kaku sepertiku, celetukan di kala dingin suasana menerpa, dan ketenangan khas seorang suami yang kau hadirkan untukku.
Keikhlasanmu membantu mengurangi kerepotan seorang ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci, menjemur, menyetrika. Kau pernah bilang kredibilitasmu bisa turun jika orang lain melihat seorang dengan perawakan sepertimu tengah menjemur baju, lalu kita tertawa bersama-sama.
Demi buah hati yang masih ada dalam kandunganku, kau rela menguras tenagamu untuk mengantar jemputku ke tempat kerja. Saat kau keceplosan bilang lelah, kadang aku merasa bersalah. Tapi bagaimana? Aku juga tak memintanya untuk diriku, tapi untuk buah hati kita.
Ah, banyak sekali yang telah kau lakukan untukku. Tak bisa kusebutkan satu per satu.
Karena keceriaanmu itulah, di saat kau tiba-tiba diam dan merenung sendiri, semua jadi sangat terasa menyedihkan bagiku. Biasanya aku segera mengintrospeksi diri. Kesalahan apa yang telah aku lakukan? Ku-rewind semua kejadian sebelumnya. Setelah kuingat-ingat, ternyata itu adalah kesalahan kecil yang sering aku lakukan. Namun aku tak tahu kenapa aku sering mengulanginya, dan kau pun selalu meresponnya dengan hal yang sama.
Kadang aku tidak terima. Merasa egomu terlalu tinggi. Kenapa aku terus yang disalahkan, sementara aku melakukannya bukan tanpa alasan. Ketika aku marah duluan, selalu berujung dengan tingkahmu berdiam.
Saat emosiku sudah stabil barulah aku bisa berpikir jernih. Kenapa aku begini? Siapa diriku? Aku adalah seorang istri, yang punya kewajiban terhadap suaminya. Apapun yang terjadi, siapapun yang tak sengaja melakukan kesalahan, tak seharusnyalah aku marah dan meninggikan egoku di hadapanmu. Bukan karena aku budak, tetapi karena kau adalah suamiku. Imamku. Pemimpinku.
Semua perbuatan yang kulakukan adalah tanggunganmu. Ketika aku melakukan kesalahan, yang pertama dimintai pertanggungjawaban adalah dirimu, bahkan bukan diriku sendiri. Begitu berat tanggung jawabmu atas diriku.
Jika sudah begitu, hanya tangis yang keluar dari kedua mataku. Ingin kupeluk dirimu saat itu juga, meski kadang saat itu kau masih berdiam dan terkesan menghindar. Aku pun memilih sabar. Sabar sampai kau kembali seperti biasanya. Sabar sampai kau kembali mencandaiku. Sabar sampai kau kembali menampakkan sikap penuh perhatianmu.
Wahai istri, janganlah tinggi hati. Siapapun yang kau rasa bersalah atas konflik yang terjadi antara dirimu dan suamimu, minta maaflah terlebih dulu. Itu tidak akan mengurangi kemuliaanmu, justru begitulah sikap seorang istri mulia.
Dan, jangan pernah munculkan setiap konflik itu ke permukaan. Karena solusi bukan berada di luar, tapi di dalam rumah tanggamu sendiri, hanya antara kau dan suamimu. Jangan sampai hanya karena konflik kecil maka aib suamimu malah menjadi tersebar ke segala penjuru. Karena bisa jadi itu bukan kesalahannya, tapi kesalahanmu. Takutlah akan dosa yang akan kau tanggung karena hal itu.
Mulai Saat Ini, Apapun yang Terjadi Aku Akan Berusaha Selalu Tersenyum di Hadapanmu :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar