Jumat, 28 Desember 2012

A Long Visit a.k.a My Mom--Ada yang Tidak Beres dengan Sang Ibu


Poster Film A Long Visit (My Mom)

Ini adalah tulisan lama saya, tertanggal 6 Januari 2011 di arsip saya. Dulu saya posting di note FB, namun kali ini saya ingin mempostingnya lagi di blog ini. Check it out!

Banyak teman yang bilang film ini BAGUS, mengharu biru, dan pokoknya menyentuh hati. Saking meyakinkannya mereka bilang begitu, saya jadi semakin termotivasi untuk menontonnya. Beberapa hari setelah mendapat film-nya, saya langsung menontonnya. Mungkin karena ekspektasi yang terlalu berlebihan, akhirnya membuat saya jenuh menonton film ini. Pada awalnya saya menikmati alur cerita yang natural dan sangat “nyata” di kehidupan kita itu, tapi baru setengah dari durasi film, saya angkat tangan dan memutuskan untuk mematikan laptop saya. Saya pikir akan ada semacam “kejutan” atau apalah di tengah cerita, tapi nyatanya alur film tetap berjalan seperti itu. Mungkin memang A Long Visit dimaksudkan untuk dijadikan film yang datar tapi mengena, seperti The Way Home, Hearty Paws, Hachiko, atau Wedding Dress. Tapi, menurut saya—ini menurut saya J--keempat film tersebut lebih punya sedikit amplitudo dibanding A Long Visit.

Akhirnya saya merampungkan film itu beberapa hari kemudian. Saya penasaran, tapi bukan layaknya penasaran terhadap kejadian di dalam film itu, melainkan penasaran kapan si “kejutan” atau setidaknya sedikit “amplitudo” itu akan muncul. Dan memang, amplitudo itu muncul, tapi agak-agak di akhir. Ternyata, si anak perempuan kesayangan sang ibu sakit kanker dan meninggal di penghujung film—ending tipe film golongan atau digolongkan “datar tapi mengena”.

Kalau dari segi akting, film ini memang bagus. Sang ibu dan anak perempuannya bisa menerjemahkan skenario film yang dibuat sealami mungkin (seperti kehidupan sehari-hari) menjadi akting yang juga natural. Bagaimana ibu yang tidak berpendidikan berjuang membesarkan anaknya dengan penderitaan dan kekonyolan-kekonyolan yang banyak terjadi di sekitar kita, sang anak yang malu tapi sayang dengan ibunya yang norak tapi sangat mencintainya, dan sederet peristiwa-peristiwa lazim lainnya yang terjadi di kehidupan nyata. Film ini menjadi kubu seberang dari film-film laris yang dikatakan realistis tapi tidak realistis-realistis amat juga. Misalnya, ketika seorang gadis harus berjuang menghidupi diri dan keluarganya (atau harus berjuang untuk membayar utang yang ditinggalkan orang tuanya), ia lalu bertemu dengan laki-laki tipe pangeran tampan yang bertemu dengannya karena suatu KEBETULAN. Meski dari kalangan tidak punya, kebetulan gadisnya cantik, jadi endingnya pun... ya begitulah. Kalau dipikir-pikir, apa iya kita sering menemui fenomena semacam ini? Kalau kebetulan gadisnya tidak cantik (secara fisik) bagaimana? Atau yang laki-lakinya tidak tampan (secara fisik juga) bagaimana? Sudah begitu, kadang-kadang si gadis jadi rebutan juga. Laki-laki yang merebutkan masuk tipe pangeran tampan pula! Kalaupun ada kenyataan semacam ini, pasti sedikit. Padahal cerita tipe cinderella seperti ini buaanyak sekali dipakai untuk inti cerita dan laris manis di pasaran. Tapi tidak bisa dipungkiri, kisah-kisah seperti ini memang banyak disukai oleh masyarakat, terutama masyarakat yang mendambakan kehidupan ideal, sejenak mereka lari dari kenyataan dan bahagia dengan menonton serial yang beralur ideal itu.

Dibanding dengan kisah semacam itu, mungkin sesekali kita memang perlu menonton film-film yang lebih realistis dan natural, kita bisa bercermin terhadap diri kita sendiri, dan kadang menertawakan kekonyolan dalam film yang sering kita lakukan di dunia nyata. Seperti film A Long Visit ini, yang malah mungkin terlalu realistis.

Hal lain yang mengecewakan saya, selain “amplitudo” yang kurang greget, adalah pesan moral film ini yang kurang sempurna. Mungkin dari film ini, sang penulis cerita ingin menyampaikan pesan dengan tokoh utama ibu, yaitu tentang “sayangilah ibu”, “jangan membenci ibu”, “pengertianlah terhadap ibu”, dan sebagainya. Tetapi setelah menonton film ini, bukannya saya menangis karena terkenang sosok ibu yang begitu mulia, saya malah sungguh tidak suka dengan sosok ibu dalam film ini. BENAR-BENAR TIDAK SUKA.

Mari kita cermati dari tiap segmen film ini.

Pertama, film ini seolah-olah menunjukkan betapa besar kasih ibu kepada anaknya. Tapi anak yang mana? Di film ini, si ibu sangat sangat sangat menyayangi anak perempuannya, tapi anak laki-lakinya ia cueki mentah-mentah. Kalau pesan yang akan dibawa adalah besarnya kasih sayang ibu kepada anaknya, harusnya tokoh ibu dalam film ini juga menyayangi anak laki-lakinya (adiknya si anak perempuan kesayangan). Atau setidaknya bersikap sewajarnya, tidak cuek seperti itu. Kesan ibu mulia yang penuh kasih sayang terhadap anaknya (semua anaknya—red) menjadi gagal dibawakan dalam film ini, karena ia hanya mencurahkan kasih sayangnya pada anak perempuannya.

Kedua, film ini seolah-olah ingin menunjukkan betapa besar dan berat perjuangan seorang ibu untuk membesarkan anaknya. Tapi, film ini menunjukkan karakter sang ibu yang RELA melakukan APA SAJA demi anaknya, termasuk mendatangi peramal dan menawar harga makanan di pasar dengan begitu sadis. Tentu saja saya sebagai seorang muslim sangat tidak sepakat dengan hal ini. Kita boleh bekerja keras untuk suatu hal yang baik (termasuk membesarkan anak), tapi tidak sampai berbuat syirik dan mendzalimi orang lain.

Ketiga, film ini seolah-olah ingin menunjukkan rasa cinta yang total dari sang ibu untuk anaknya (anak perempuannya—red). Tapi, rasa cinta ini sungguh diekspresikan terlalu berlebihan. Sang ibu sangat tidak rela ketika anaknya mati, sampai menangis meraung-raung, bahkan berjanji untuk mati duluan. Karena ternyata tidak mati duluan, ia berjanji untuk segera menyusul anaknya dan bertemu dengannya di kehidupan berikutnya. Kehidupannya pun dihabiskan dengan hanya melamun dan ia menjalani semua aktivitas seolah-olah tanpa nyawa—sampai sebegitunya. Kembali lagi, dikemanakan anak laki-lakinya? Bukankah ia masih punya seorang anak laki-laki? Lalu ia juga punya cucu dan menantu yang baik. Mereka semua dikemanakan? Lagi, sebagai seorang muslim saya sangat tidak sepakat dengan hal ini. Sang ibu telah menempatkan rasa cinta yang pertama untuk anak perempuannya. Padahal, tingkatan cinta yang pertama adalah untuk Allah SWT. Dan yang keduapun untuk Rasulullah SAW. Tidak boleh kita cinta berlebihan pada harta, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, bahkan pada anak. Kita juga tidak boleh menangisi orang yang sudah meninggal dengan berlebihan, sampai meraung-raung, mengutuk, dan bahkan mempengaruhi perjalanan kehidupan kita selanjutnya. Kita harus merelakan setiap nyawa yang pergi meninggalkan kita, agar ia pun bisa pergi dengan tenang.

Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang saya cermati itu, kembali saya menyampaikan bahwa mungkin film ini memang ditujukan untuk menunjukkan realita yang ada dalam hidup kita. Mungkin sang penulis cerita pernah menjumpai sosok ibu dengan karakter semacam itu, atau bahkan mengalaminya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, di dunia nyata ini ada sosok ibu dengan karakter seperti itu, dan penulis cerita ingin menunjukkan bahwa “ini lho, ada ibu yang sayang sama anaknya sampai sebegitunya...”. Kalau memang tujuan film ini hanya sekedar mencuplik realita dalam kehidupan ini, film ini cukup bagus, karena kedalaman peran ibu dan anak yang natural. Tapi kalau film ini ditujukan untuk membawakan pesan moral, saya rasa masih ada yang kurang pas.

That’s all. Itulah hasil cermatan saya tentang film A Long Visit a.k.a My Mom. Mungkin terkesan subjektif, dan mungkin saja hasil cermatan orang lain akan berbeda. But it doesn’t matter, semua orang punya pendapat masing-masing :)

The Hunger Games—Parodi Dunia Saat Ini



Poster Film The Hunger Games



Cover Novel The Hunger Games


Kakak saya hobi menyewa film dari rentalan. Terkadang film yang beliau sewa bagus, tapi tak sedikit juga yang salah pilih (piss, sista :D). Yang terakhir, beliau menyewa dua film, The Hunger Games dan Mirror Mirror. Waktu saya melihat The Hunger Games yang beliau sewa, saya langsung berkomentar, “ini baru benar!” Tumben, kakak saya berhasil menyewa film box office. Kakak saya selalu memasuki rentalan film dengan buta—ya, buta film. Tidak seperti saya yang sering repot-repot cari referensi by googling sebelum memilih film, kakak saya langsung saja pergi ke rental dan memilih di sana—hanya berpedoman pada sinopsis yang kadang tidak sesuai dengan ekspektasi.  Mungkin karena beliau memang sibuk bekerja, sehingga tak sempat cari-cari referensi seperti saya. Saat mendengar komentar saya itu, kurang lebih beliau hanya bilang, “aku melihat poster film itu dipajang di kaca depan rental.” Aku bersyukur rentalan memajang poster film itu di sana :D

The Hunger Games adalah film jawara box office tahun lalu. Saya dan kakak saya sama-sama penggemar film, tetapi juga sama-sama tak pernah pergi ke bioskop. Ketika ada film bagus rilis, kami tak pusing-pusing meluangkan waktu ke bioskop. Dengan sabar, kami menunggu vcd atau dvd film itu disewakan di rentalan. Kami berdua punya prinsip, menikmati film bukanlah harus buru-buru saat film masih fresh supaya kita bisa ikut nimbrung ketika orang-orang ribut membahasnya. Kami mengedepankan kenyamanan dalam menonton. Menonton di rumah adalah cara paling nyaman buat kita. Kita bisa menonton sambil makan rujak (bukan hanya makan popcorn), tiduran, tengkurap, dan yang paling asyik, kita bisa mem-pause film ketika kita harus melakukan sesuatu tetapi tak ingin ketinggalan setiap adegannya—misalnya ke kamar mandi, mengangkat jemuran, atau disuruh Ibu membeli garam di warung. Meski kami menonton dalam kondisi film ‘sudah basi’ dalam bahasan orang-orang, tetapi bagi kami intinya tetap sama: kita dan mereka sama-sama sudah nonton! ^_^

OK, saya tidak akan membahas terlalu banyak mengenai kebiasaan kami menonton film di rumah. Karena, inti dari tulisan ini adalah mengenai komentar saya terhadap isi cerita film The Hunger Games. Sebelum memasuki inti, saya ingin mengingatkan kepada siapapun yang membaca artikel ini, bahwa ini hanyalah pendapat saya, dan murni saya tuliskan dari apa yang ada di benak dan pikiran saya setelah saya menonton film ini.

Ketika film ini baru rilis di negerinya, saya membaca sinopsisnya sekilas. Dari posternya pun sudah kelihatan, ini film action fantasi. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan film action, apalagi panah-panahan, seperti gambar posternya. Tapi karena film ini menjadi jawara pada saat itu—dengan arti banyak orang yang suka, saya pun bersemangat ketika kakak membawa pulang vcd sewaannya ke rumah. Saat saya mulai menonton, rasa tertarik pun langsung muncul. Ternyata ini bukan sekedar film action fantasi, tapi juga thriller. Thriller adalah salah satu genre film favorit saya. Tak pelak lagi, langsung saya habiskan film itu hari itu juga.

Bagi yang sudah menonton, pasti sudah hafal dengan jalan ceritanya. Bisa ditebak dari judulnya, The Hunger Games adalah film yang bercerita tentang sebuah permainan. Tadinya, saya pikir film ini akan menonjolkan keunggulan utama dari kemampuan sang lakon dalam menjalani permainan hingga sukses sampai akhir. Tetapi lebih dari itu, film yang diangkat dari novel karya Suzanne Collins ini menunjukkan tentang potret dunia yang saat ini tengah terjadi, lewat berbagai macam sindiran a la TV show dan orang-orang dengan dandanan mencolok a la opera yang ditunjukkan dalam film ini. Kalau boleh saya bilang, film ini adalah sebuah parodi dari kenyataan hidup yang terjadi sekarang.

Film The Hunger Games punya setting negara tersendiri. Tadinya saya menduga ini dikarenakan film ini merupakan film fantasi, tetapi saya tidak melihat adanya penjelasan apapun di awal—tak ada narator yang terlebih dahulu bercerita, “dahulu kala, di sebuah negeri ratusan tahun yang lalu, bla bla bla...” atau “di sebuah negeri tak terjamah, bla bla bla...”—film ini hanya memunculkan penjelasan singkat secara tertulis, yang intinya menjelaskan bahwa The Hunger Games merupakan nama sebuah permainan yang merupakan tradisi sebuah negara bagian yang dalam film itu hanya disebut sebagai ‘The Capitol’. Setelah saya menilik wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/The_Hunger_Games), ternyata dalam novelnya dijelaskan bahwa negara latar cerita The Hunger Games berada pada zaman apokalips bernama Panem—ya pantes, fantasi banget.

Permainan ini diciptakan dalam sebuah perjanjian atas pengkhianatan karena dahulu terjadi pemberontakan dari 12 distrik yang berada di bawah kekuasaan The Capitol. Setiap tahun, keduabelas distrik harus mengirimkan 1 orang remaja laki-laki dan 1 orang remaja perempuan untuk mengikuti The Hunger Games sebagai bentuk ‘penebusan dosa’ atas pemberontakan yang pernah mereka lakukan—meskipun mungkin para pemberontak yang asli sudah meninggal jauhari sebelumnya, dan para remaja yang sekarang terlibat dalam permainan itu pun tak pernah menyaksikan pemberontakan yang selalu disebut-sebut oleh para bangsawan dari The Capitol itu. Yang semakin membuat permainan ini terlihat mengada-ada, hanya ada satu pemenang dari permainan ini dengan semua lawan (23 orang) harus mati—entah karena terbunuh atau karena terkena jebakan, infeksi, keracunan, dehidrasi, dsb. Saat saya mencari arti kata ‘hunger’ di kamus, artinya pun menunjukkan kesan permainan itu, yaitu kelaparan atau keinginan yang amat sangat. Ya, ketika seorang pemain The Hunger Games ingin menang, ia akan menjadi seseorang yang ‘kelaparan’ dan tega menghabisi para remaja yang seharusnya bisa ia jadikan teman.

The Hunger Games mengharuskan para pemain tinggal di sebuah wilayah hutan—yang ternyata di-setting sedemikian rupa oleh Gamemaker, seseorang yang dipercayai presiden The Capitol untuk mengatur dan mengontrol jalannya permainan. Awalnya saya kira 24 remaja itu dilepas di hutan belantara real, tetapi ternyata mereka dilepas di sebuah hutan buatan Gamemaker. Bahkan dunia penduduk negara itu pun ‘buatan’, dengan pimpinan teratas seorang presiden. Mereka harus saling membunuh, berebut perbekalan, menghindari jebakan-jebakan yang di-setting Gamemaker, atau setidaknya bertahan hidup sendiri. Sampai akhirnya yang tersisa hanya satu orang pemain, dan ialah yang akan menjadi pemenangnya. Setidaknya ‘pemenang’ menurut apa yang di-setting Gamemaker.

Jelas sudah, negara dalam film ini tak mungkin ada di dunia ini, karena kita punya HAM. Tapi benarkah itu? Benarkah negara seperti negara pembuat The Hunger Games ini tidak ada di dunia ini? Jika kita merenung lebih dalam, maka akan jelas terlihat bahwa permainan seperti The Hunger Games hanyalah sebuah parodi kecil dari apa yang sedang terjadi di dunia ini. Sebuah skenario saling menghancurkan dengan janji kemenangan tengah dijalankan oleh seorang ‘Gamemaker’ dan kita semua di dunia ini sebagai pemainnya! Inilah inti yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.

Saya menikmati alur cerita film ini, meski dengan penuh rasa ngeri, sebagai sebuah film fantasi biasa—yang ingin menyatakan bahwa ‘di dunia manapun, kebaikan akan selalu menang’—seperti ketika saya menonton Harry Potter, Narnia, Lord of The Rings, dsb. Namun anggapan itu perlahan mulai berubah ketika saya melihat bahwa permainan di The Hunger Games ternyata disiarkan sebagai sebuah TV show di negara tersebut, dan ditonton oleh semua penduduk dari 12 distriknya. Dalam film ini diceritakan bagaimana Gamemaker meminta pertimbangan-pertimbangan presiden ketika The Hunger Games sedang berlangsung, bagaimana sebuah drama percintaan digembar-gemborkan oleh presenter yang layaknya seorang komentator sepak bola ketika menyiarkan tentang jalannya The Hunger Games, bagaimana Gamemaker selalu berpikir agar The Hunger Games terlihat sebagai sebuah tontonan yang menarik bagi masyarakat (tanpa peduli permainan itu akan mengambil 23 nyawa remaja), bagaimana seorang penasehat tiap distrik (dalam hal ini distrik 12 yang merupakan distriknya sang tokoh utama) menasehati bahwa si tokoh utama, Katniss Everdeen, harus menjawab bahwa ia memang benar-benar mencintai teman satu distriknya, Peeta, agar Gamemaker dan penonton senang, bagaimana Katniss dan Peeta terlihat saling jatuh cinta saat menjalani permainan namun saat pulang ke distriknya sebagai pemenang mereka menyatakan harus melupakan semua apa yang sudah terjadi di antara mereka, dan bagaimana sewenang-wenangnya Gamemaker dalam membuat aturan permainan dengan tujuan mengocok emosi pemirsa. Ketika Katniss berhasil menjauh dari musuh-musuhnya dalam permainan, hingga terlalu jauh dan tidak terjangkau, Gamemaker menyuruh para stafnya untuk menciptakan kebakaran hutan sehingga Katniss harus kabur dari tempat persembunyiannya dan mendekat ke area musuh-musuhnya. Ketika kisah cinta Katniss dan Peeta menjadi menarik di mata pemirsa, Gamemaker mengubah peraturan The Hunger Games, bahwa pemenangnya boleh dua orang, asal sama-sama dari satu distrik. Untuk menggiring Katnis dan Peeta bertanding dengan seorang lawan lagi yang bernama Cato, Gamemaker pun menyuruh stafnya membuat anjing ganas untuk mengejar mereka hingga mereka lari dan bertemu Cato. Namun ketika Katniss dan Peeta berhasil memenangkan permainan, Gamemaker mendadak mengumumkan bahwa peraturannya kembali ke awal, bahwa hanya boleh ada satu pemenang. Ketika Katniss dan Peeta memutuskan untuk sama-sama bunuh diri, Gamemaker menghentikannya, dan akhirnya mereka berdua tetap bersama-sama menjadi pemenang The Hunger Games. Adegan di bagian akhir, meski tidak ditunjukkan secara langsung, Gamemaker bunuh diri dengan memakan buah berry beracun, karena ia merasa gagal menjalankan permainan itu. Katniss tak mau membunuh Peeta, tidak seperti kehendaknya.

Terlepas dari ide cerita yang GILA karena menggampangkan penciptaan makhluk dan kejadian—kebakaran hutan, anjing ganas, dan segala yang ada di permainan itu diciptakan dengan teknologi komputer oleh Gamemaker dan para stafnya—sekali lagi, film ini sebenarnya merupakan parodi dari kehidupan saat ini, bahwa ada ‘Gamemaker’ menyetting berbagai huru-hara yang terjadi di dunia saat ini.

Sebutlah, USA dan para sekutunya, yang Yahudi, atau berpehamaman buruk itu. Apa sih yang sekarang tidak berada ‘di bawah kendalinya’? Bahkan sampai pada hal-hal yang tak disadari pun kini berada di bawah pengaruhnya. Dunia ini bagaikan ajang permainan bagi pihak-pihak tersebut. Dibikin kacau, diadu domba sana-sini, dibikin ribut. Dan kenapa kita mau dibikin ribut? Karena ada harapan kemenangan yang diiming-imingkan di sana, sehingga para boneka yang diadu memiliki ‘hunger’. Dan kenapa mereka membuat permainan ini? Tidak lain karena dengan membuat, maka merekalah yang otomatis menang. Semua diatur sedemikian rupa agar semua berada di bawah kehendaknya, dan bukan mereka yang menang dalam permainan yang menjadi pemenangnya, tetapi si pengatur permainan itulah pemenang sebenarnya. Meski melalui jalan yang BURUK.

Mereka menggunakan segala macam taktik, menyetting berbagai keadaan, dan menetapkan peraturan yang sewenang-wenang seperti Gamemaker dalam The Hunger Games untuk mengadu domba orang-orang, atau golongan-golongan, atau bahkan bangsa-bangsa sehingga mereka pada akhirnya porak-poranda dan sang Gamemaker-lah yang menang. Jika Gamemaker dalam The Hunger Games menciptakan permainan itu dengan alasan sebagai bentuk penebusan dosa atas pemberontakan orang-orang dari distrik, maka, sebagai contoh, Yahudi menciptakan peperangan dengan alasan membela haknya sebagai bangsa yang dulu mengalami tragedi Holocaust. Jika Gamemaker menciptakan kebakaran hutan untuk menggiring Katniss mendekat kepada musuhnya, maka Amerika mengebom gedung tertingginya untuk melancarkan tuduhan teroris kepada umat Islam sehingga memancing kerusuhan. Dan lebih luas, mereka melakukan permainan semacam The Hunger Games untuk seluruh dunia, sehingga mereka benar-benar berkuasa atasnya. Mereka tak pernah sadar, mereka bahkan tak punya kuasa untuk menurunkan air hujan dari langit.

Sebagai muslim, saya benci dengan hal ini, yang menganggap orang lain, golongan lain, bangsa lain, sebagai boneka. Saya percaya dengan satu kemenangan, yaitu kemenangan Islam. Allah menjanjikan kemenangan bagi Islam, itu mutlak. Kenapa saya sangat percaya? Karena Islam akan menang dengan cara apapun yang Allah kehendaki. Tak perlu kami repot-repot merancang permainan, mengadu domba, membikin huru-hara, itu hal yang PAYAH. Ketika dunia ini damai, dan umat agama lain tak menyerang kita secara frontal, Allah pun melarang kita menyerang mereka secara frontal. Kita cukup hidup apa adanya sebagai seorang muslim, berdakwah secara santun, tidak neko-neko, TIDAK MENEROR. Bagi mereka yang cerdas, mereka akan dengan sendirinya jatuh cinta dengan ajaran kita. Satu per satu akan meminta bergabung dengan kita, dan perlahan tapi pasti Islam-pun menang. Dan jika dunia ini ribut, mereka menyerang kita secara frontal, barulah kita diperbolehkan balas menyerang, namun itupun dengan berbagai kesantunan yang juga seharusnya menyadarkan di antara mereka yang cerdas. Islam akan menang, itu mutlak.

Ketika dunia ini sudah terlanjur ‘di bawah kendali’ mereka (hanya kiasan, karena kendali tertinggi tentu hanya pada Allah SWT), maka kita harus bertindak melawan aturan permainan mereka. Seperti Katniss, yang tidak mau membunuh Peeta, tapi malah memutuskan bunuh diri bersama-sama, karena bukan kemenangan di mata orang-orang yang ia cari, namun solidaritas—bukan bermaksud menyatakan bahwa bunuh diri dan cinta-cintaan sebelum nikah itu boleh, tetapi hanya mengambil hikmah atas keputusannya ‘membangkang dari peraturan’. Toh akhirnya Gamemaker malah bunuh diri. Jangan kita terus hanyut dalam aturan yang mereka buat dan akhirnya menjadi budak mereka, tetapi bagaimana kita melangkah keluar hingga dapat menjatuhkan mereka dan kemenangan pun ada di tangan kita, ISLAM. Jangan dahulu berpikir terlalu berat. Bahkan Syaikh Adnan A’li Ar-Rantisi, imam besar Masjid Gaza Palestina, ketika ditanya seorang pemuda di Masjid Fatimatuzzahra Purwokerto tentang bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemuda Indonesia untuk membantu dalam konflik di Palestina, beliau hanya menjawab bahwa cukup shalat berjamaah secara rutin selama satu tahun penuh dan menghafal Al-Qur’an, beliau tidak menyuruh pemuda itu untuk berangkat berperang ke Palestina.

Salah satu yang juga mencirikan bahwa film ini adalah sebuah parodi, yaitu make up penduduk The Capitol yang berlebihan. Semua penghuni The Capitol berdandan a la festival. Singkat saja, poin ini mencirikan banyaknya manusia yang memakai ‘topeng’ untuk menutupi jati diri mereka. Mereka, orang-orang The Capitol itu, bahkan sangat menikmati setiap jalannya The Hunger Games.

The Hunger Games adalah parodi ringan dari apa yang terjadi di dunia, dan juga, parodi berat dari TV show yang sekarang sedang menjamur di dunia pertelevisian termasuk Indonesia. Dulu, saya sempat percaya bahwa reality show adalah benar-benar kejadian nyata yang direkam kamera, tetapi semakin ke sini, saya semakin sulit membedakan mana yang ‘reality’ show dan mana yang sinetron. Saya mulai curiga ketika reality show mulai lebay dalam menampakkan kesedihan orang-orang dalam acara tersebut, atau jalan ceritanya seperti sudah tertebak layaknya di sinetron. Semuanya ternyata hanya settingan.

Ketika rating reality show tersebut turun, maka salah satu cara jitu adalah meramu cerita yang dapat menarik pemirsa—yang paling sering adalah mengeksploitasi kesedihan dengan memaksa orang-orang dalam reality show tersebut menangis. Kalau belum menangis, maka sang host akan memancing, memancing, dan memancing terus sampai ia sesenggukan sendiri. Cara jitu kedua adalah, meramu kisah cinta lokasi—ini seperti yang terjadi di The Hunger Games, dan di sana ditunjukkan bahwa penonton menyukainya. Terkadang sang pembuat acara hanya membumbui apa yang sudah terjadi secara nyata, tetapi tak jarang juga, mereka tidak hanya sekedar membumbui, tetapi membuatnya dari awal. Manusia memang senang berkhayal, sehingga mereka tak tertarik jika apa yang ditayangkan di TV datar-datar saja seperti hidup mereka. Kalau boleh, saya menganjurkan reality show yang pura-pura real untuk mengaku secara baik-baik bahwa kisah dalam acara mereka HANYA FIKTIF BELAKA.

Well, semua bersimpul pada evaluasi fenomena yang terjadi saat ini. The Hunger Games hanya sebuah film, yang saya analisa menurut jalan pikiran saya—entah sejalan dengan pemikiran si penulis novel dan sutradara film-nya atau tidak. Tetapi yang jelas, apalah arti fasilitas blogging jika saya tak boleh menulis apa yang ada dalam pikiran saya ini? Saya pun tak pernah mengira, bahwa pemikiran saya jika dituliskan ternyata sebanyak ini.

Dan, setelah saya selesai menulis artikel ini, saya iseng menilik tribunnews (http://www.tribunnews.com/2012/03/22/kisah-the-hunger-games-terinspirasi-perang-irak) terlebih dulu sebelum memposting artikel ini ke blog. Saya mendapati bahwa ternyata Suzanne Collins memang benar-benar menulis novel ini karena terinspirasi dari fenomena reality show yang diikuti para pemuda untuk memperebutkan jutaan dollar, sementara saat itu juga ia melihat sebuah perang sedang terjadi di belahan dunia lain, yaitu Irak. Ia bahkan mengunggah sebuah video di youtube yang menegaskan bahwa ia tengah berusaha menggugah sikap kritis pemuda atas apa yang sedang terjadi saat ini.

Meski saya tidak bilang novel dan film ini 100% bagus, saya salut. Novel dan film ini benar-benar bisa menerjemahkan kritikan ke dalam sebuah film yang juga dapat dipahami oleh orang awam seperti saya. Dan satu hal lagi, karena ini novel dan film kritikan, maka ia hanya digunakan untuk menyadarkan kita yang belum sadar terhadap fenomena yang sedang dikritisi itu, bukan menjadi contoh bulat-bulat J

Senin, 24 Desember 2012

Berbagi Secuil Keterampilan


Foto Bersama Pelatihan Pembuatan Kerajinan Kain Flanel PAUD Sabilul Huda



Karya Asesoris Flanel Ibu-ibu PAUD Sabilul Huda (Bros Gulung Bunga, Bros Pita, Bros Jait Kapas, Dompet Receh/Tempat HP Berperekat)



Ibu-ibu PAUD Sabilul Huda Bersemangat Berlatih Membuat Asesoris Flanel


Alhamdulillah, hari ini terlaksana juga pelatihan pembuatan asesoris flanel di PAUD Sabilul Huda, Desa Rancamaya, Kec. Cilongok, Kab. Banyumas, Jawa Tengah (lengkap :D). Meskipun kerajinan tangan dari kain flanel sudah sangat merajalela saat ini, tetapi, bagi ibu-ibu di PAUD tersebut flanel masih merupakan hal baru. Tak rugi pula jika pelatihan flanel diadakan, karena meskipun saat ini banyak produk flanel di pasaran, tetapi yang kualitasnya bagus juga tidak banyak. Setidaknya, ketika PAUD Sabilul Huda ingin merintis usaha di bidang tersebut, kualitas produk harus dinomorsatukan.

Saya bukanlah ahli di bidang per-flanel-an, hanya memiliki pengalaman membuat beberapa kerajinan tangan dari kain flanel, sehingga Ustadzah Tri (pengelola PAUD Sabilul Huda) mempercayai saya untuk melatih para ibu wali murid PAUD tersebut. Dan hari ini, Senin 24 Desember 2012, merupakan pertemuan pertama kami. Alhamdulillah, ibu-ibu yang mengikuti pelatihan berjumlah 8 orang, meskipun jumlah seluruh wali murid sebenarnya ada 25 orang. Tetap ambil positifnya--semakin sedikit peserta, semakin efektif sebuah pelatihan.

Janjinya pun dimulai jam 8, dan saya sudah berusaha on time. Tapi namanya juga ibu-ibu, pasti banyak urusan rumah tangga di pagi hari, jadilah acara baru dimulai jam 9 pagi. Pelatihan dilakukan dari asesoris flanel termudah dulu, yaitu bros pita. Kemudian meningkat ke bros bunga gulung, bros jait isi kapas, dan dompet berperekat. Ibu-ibu pun berhasil membuat karya-karya tersebut dengan baik. Meski mereka baru pertama kali membuat kerajinan dari kain flanel, namun karya mereka sudah cukup bagus dan kreativitas mereka sudah terlihat.

Insya Allah, ke depannya, pelatihan ini akan dilaksanakan pada minggu terakhir setiap bulannya. Dan semoga, kelompok kecil ini dapat menjadi embrio untuk kelompok usaha flanel, yang memberdayakan para ibu rumah tangga di Desa Rancamaya. Bismillah, semoga Allah mengizinkan.

Saya sendiri, sebagai pihak yang dipercaya melatih para ibu, merasa senang terlibat dalam kegiatan ini. Saya sangat senang melihat para ibu antusias ketika memotong kain flanel, menempel, menjahit, hingga berfoto bersama di akhir pelatihan hari itu--meski diiringi teriakan-teriakan dan keributan yang dibikin oleh para balita PAUD yang merupakan puta-putra putri para ibu ^_^. Ternyata, hobi yang juga saya gunakan sebagai ajang mencari uang saku selama kuliah bisa bermanfaat saat ini, yang notabene telah lulus dan tengah dalam masa kerja. Di sinilah kesempatan saya untuk berbagi dengan orang lain, meskipun apa yang saya bagikan tidak seberapa. Hanya secuil :).

Jumat, 21 Desember 2012

It's Me - Perfect Melancholic

Begitu saya selesai membaca buku psikologi tentang kepribadian karya Florence Littauer beberapa tahun yang lalu, saya langsung dapat menyimpulkan dengan mudah, bahwa saya adalah perempuan dengan kepribadian melankolis sempurna (benar-benar melankolis). Jangan artikan melankolis sebagai istilah yang selama ini sering kita gunakan (mellow, suka nangis, cengeng, dst). Melankolis sempurna adalah salah satu jenis kepribadian seseorang yang ciri utamanya bersifat suka menganalisis, detail, pemikir, perfeksionis, cenderung pendiam, dan kadang, saya membaca di literatur bahwa pribadi melankolis biasanya pribadi yang malang di antara pribadi yang lain. Karena orang melankolis cenderung suka mengalah, hampir selalu menerima amanah yang diberikan padanya, dan memang, terkadang merasa bersalah ketika tengah bersenang-senang (contoh kecil, ia merasa bersalah telah menghabiskan waktu 2 jam untuk menonton film--meskipun sebenarnya ia memang butuh hiburan setelah 10 jam bekerja).

Saya pernah membaca tentang perumpaan seorang melankolis di antara sosok pribadi jenis lain, bahwa ketika sebuah keluarga mengadakan acara makan bersama, seorang ibu dengan pribadi tersebut sibuk sendiri menyiapkan acara sesempurna mungkin, lalu mencuci semua piring begitu acara selesai. Ia berharap ada keluarganya yang memahami bahwa ia juga butuh bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan itu, namun ia tak mau meminta secara langsung, ia hanya menunjukkan bahwa ia tengah bekerja. Namun, orang-orang di sekitarnya yang berkepribadian sanguinis (supel, periang, suka bicara), koleris (tegas, diktator, pandai memimpin), dan plegmatis (tenang, santai, cenderung lamban) tidak ada yang menyadarinya dan terus larut dalam kemeriahan acara keluarga. Sang melankolis hanya bisa menangis di dapur sambil terus mencuci piring.

Itu bisa saja terjadi secara nyata. Karena saya sebagai seorang melankolis pun pernah mengalaminya, meski kasusnya bukan mencuci piring di acara keluarga. Tapi saya pernah bertekad bahwa saya ingin membuktikan bahwa orang melankolis bukanlah pihak 'malang' di antara pribadi yang lain. Memang karakter dasarnya seperti itu, tetapi saya ingin orang-orang di sekitar saya tahu, bahwa kemalangan yang biasanya terjadi pada seorang melankolis adalah pengorbanan yang patut dihargai. Saya tidak sedang mengagung-agungkan diri saya, karena orang yang berkepribadian melankolis di dunia ini bukan hanya saya, tapi jutaan orang. Saya membelanya atas nama 'pribadi melankolis' bukan atas nama saya sendiri.

Banyak orang melankolis di sekitar saya yang mengalami yang katanya 'kemalangan' itu. Tapi saya tak akan mengatakannya sebagai 'kemalangan', melainkan 'pengorbanan'. Ya, pengorbanan. Apa jadinya kalau di dunia ini tidak ada orang melankolis? Meski semua jenis pribadi juga bisa melakukan pengorbanan, tapi saya yakin, tidak sesering orang melankolis, karena karakter dasarnya seperti itu. Pengorbanan sekecil apapun.

Semua jenis pribadi memiliki karakter khasnya masing-masing yang saling melengkapi. Kalau semua orang sanguinis, mungkin tidak akan ada penulis di dunia ini. Kalau semua orang koleris, maka tidak akan ada orang yang menjadi bawahan di dunia ini. Kalau semua orang plegmatis, maka dunia ini akan terlalu 'tenang' dan itu justru membahayakan. Dan kalau semua orang melankolis, maka dunia ini hanya akan dipenuhi orang yang waktu berpikirnya lama dan perfeksionis--sangat bahaya juga.

Menjadi pribadi melankolis menyenangkan bagi saya. Mungkin karena itulah, saya lebih senang menulis daripada bicara, saya senang menggambar, mendesain, selalu ingin tahu setiap hal dengan detail (KEPO :D), dan cenderung mudah menerima semua keadaan yang dihadapkan pada saya. Namun, saya juga kadang lelah dengan sifat perfeksionis, terlalu banyak berpikir, sering menyalahkan diri sendiri, bahkan merasa bersalah ketika sedang menghibur diri. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, saya juga kadang lelah harus melakukan semua yang dibebankan kepada saya, karena saya jarang berani menolak amanah yang diberikan, karena sifat dasar melankolis yang tidak enakan. Namun terkadang saya meyakinkan pada diri saya, bahwa setiap apa yang saya lakukan harus saya niatkan sebagai tabungan amal untuk bekal akhirat kelak, sehingga saat lelah mendera, saya dapat terus menghadapinya dengan senyum dan tak pernah menyesal dilahirkan sebagai seorang melankolis.

Saya tak bohong, saya sangat BANGGA menjadi seorang melankolis sempurna. Saya dapat menjadikan hobi menulis, menggambar, dan mendesain yang merupakan bakat kebanyakan orang melankolis sebagai ladang amal, baik untuk dunia maupun akhirat. Dan saya pun tak memungkiri ingin berkembang, merambah ke ranah sanguinis, koleris, dan plegmatis. Sampai saat ini, saya masih belajar berkomunikasi dengan baik, baik dengan perseorangan maupun massal. Karena tuntutan dakwah telah membuat saya termotivasi untuk itu. Mungkin konsentrasi saya tetap pada tulisan dan pesan-pesan non verbal, tetapi secara oral pun saya harus persiapkan.

Dan kalau saya bukan orang melankolis, mungkin saya tidak menulis postingan ini :)


Iman seseorang itu naik-turun..

Ya, iman seseorang naik dan turun. Seperti baterai ponsel, atau baterai laptop. Kalo tidak dicharge, bisa bahaya. Bakalan mati ti ti... hehehe.
Terkadang kita tidak sengaja menemukan charger itu di saat-saat dan tempat yang tidak terduga. Dan ini, mungkin saja karena Allah masih peduli dengan kita, dan ingin kondisi iman kita kembali naik. Misalnya, ketika kita benar-benar futur, tiba-tiba dosen di kelas menyelipkan suatu nasihat di sela-sela materi kuliah. Dan nasihat itu... jleb! Menembus kalbu kita. Hingga kita sadar, “oh iya ya... dari kemaren gua kemane aje? Tilawah gak jalan, shalat buru-buru, qiyamul lail apalagi...”

Contoh lain, misalnya kita sedang benar-benar futur, lalu kewajiban sebagai panitia memaksa kita ikut mendengarkan ceramah di acara yang kita selenggarakan. Dan subhanalloh... ternyata pembicaranya seorang trainer berpengalaman yang ceramahnya sangat hipnotik. Begitu selesai mendengarkan ceramah, badan serasa bugar kembali, hati serasa plong, dan kita pun berteriak dalam hati “SEMANGAT!!!”
Well, charger-charger yang kita temukan secara tidak sengaja itu bukan tanpa rencana Allah. Kita masih SANGAT BERUNTUNG jika dalam kondisi futur, Allah masih memperkenankan kita menemukan sebuah charger untuk memenuhi kalbu kita yang kosong iman. Bagaimana kalau Allah tidak mempertemukan kita dengan charger itu??? Hanya usaha untuk memperbaiki diri yang bisa digunakan untuk memperbaiki iman kita. Tapi, saya akui, itu saaaaangat sulit, KECUALI kita benar-benar berusaha sekuat tenaga karena kita sadar kita tidak boleh berlarut-larut dalam lembah ke-futur-an. Bisikan syaithan berhembus-hembusan, kawan ammah memanggil-manggil untuk ber-hedon ria, banyak kenikmatan dunia yang menggoyahkan...

Hhh... manusia. Itulah seninya. Kalau imannya lurus-lurus saja, berarti kita bukan manusia, tapi malaikat. Padahal kita punya nafsu dan diciptakan dari tanah, bukan tidak punya nafsu dan diciptakan dari cahaya. Tapi, bukan berarti kita mentolerir seni ke-futur-an hingga berkepanjangan. Hiasi seni itu dengan terus berusaha memperbaikinya.
SULIT itu beda lho dengan TIDAK BISA. Bedakan kalimat ini: “aku kesulitan mengerjakan soal ini” dan “aku tidak bisa mengerjakan soal ini”. Do you catch it?
Ya, dalam kalimat yang menggunakan kata sulit, MASIH ada kemungkinan orang itu mencapai keberhasilan atas usahanya. MASIH ADA HARAPAN walau sedikit. Tapi, dalam kalimat yang menggunakan kata TIDAK BISA, orang yang mengatakannya berarti telah memutuskan untuk MENYERAH. TIDAK ADA HARAPAN.
Jadi, jika mengembalikan kondisi iman itu SULIT, maka itu bukan berarti TIDAK BISA. Ayo usaha terus! Masih ada kemungkinan berhasil meski hanya dengan 1% kemungkinan. Dan Allah itu Maha Tahu siapa hamba-Nya yang benar-benar berusaha. Mungkin saja usaha kita mengembalikan kondisi iman tidak membuahkan hasil, tetapi karena Allah Melihat kesungguhan kita, Dia mempertemukan kita dengan sebuah charger iman.

So, naik-turunnya iman itu adalah sebuah kenormalan. Tetapi kenormalan itu bukan untuk disepelekan. Mari bangun dari ke-futur-an, dan temukan charger-charger iman yang berserakan di bumi ini.

We are one because of Islam, Keep spirit because of Allah
Allahu akbar!

_Catatan 1 Juni 2012_

Do What You Wanna Do, Do What You Love

Judulnya seperti jingle iklan, ya?

Memang benar. Tapi saya menjadikannya judul bukan karena saya marketing produk itu, ya :). Hanya saja, apa yang saya ingin tulis malam ini berkaitan dengan kecintaan terhadap sebuah pekerjaan. Ya, cinta pada pekerjaan kita.

Bagi yang sudah bekerja, apakah kalian mencintai pekerjaan kalian sekarang? Mungkin jawabnya akan bermacam-macam. Ada yang cinta sekali, cinta saja, kurang begitu cinta, atau bahkan tidak cinta sama sekali. Dua jawaban pertama, menyiratkan kebahagiaan yang meliputi ketika kalian bekerja. Tetapi, dua jawaban terakhir, menyiratkan ketidakbahagiaan.

Saya tidak ingin banyak membahasa tentang psikologi melakukan pekerjaan, karena saya sadar, saya bukan ahlinya. Dan saya pun adalah orang baru di dunia kerja. Namun saya ingin membahasnya karena saya banyak melihat fenomena di sekitar. Yang saya ingin soroti di sini adalah berbagai latar belakang yang dimiliki orang-orang yang bekerja, baik mereka cinta dengan pekerjaannya atau tidak.

Saya ingin bertanya pada orang yang tidak cinta, kenapa kalian melakukan pekerjaan itu kalau kalian tidak mencintainya? Jawabannya sedikit banyak telah saya temukan. Sebagian besar karena alasan materi seperti gaji yang besar, tunjangan yang banyak, dsb. Atau alasan prestise, agar tampak menyilaukan orang di sekitarnya. Atau mungkin, karena terpaksa harus sesuai latar belakang pendidikannya--kalau tidak nyambung, tidak mau bekerja (sebenarnya alasan ini mirip dengan alasan prestise). Dan sebenarnya, inti ketiga alasan itu sama, yaitu terpaksa. Terpaksa menuruti hawa nafsunya. Ya, hawa nafsu. Hawa nafsu akan materi, imej diri, dan gengsi.

Hawa nafsu, sejak dulu sudah kita tahu bahwa agamapun melarang kita mengumbarnya. Tapi toh fenomenanya kini begitu. Orientasi materialis sudah mendarah daging dalam diri manusia jaman sekarang. Hanya sedikit dari kita yang masih bertahan melawan orientasi itu. Jikapun dalam diri muncul benih untuk melawannya, maka sikap orang lain yang telah terdoktrin paham itu akan mempengaruhi kita. Memaksa kita untuk berpikir, "apa iya, aku kerja di tempat itu? Aku suka sih di sana, tapi gajinya kecil, tidak ada prestise-nya, dan tidak nyambung dengan latar belakang pendidikan saya." Akhirnya, muncullah fenomena tak mencintai pekerjaan. Kita menjadi robot yang bekerja untuk memuaskan hawa nafsu. Na'udzubillah.

Saya tidak sedang menyindir siapapun, tetapi hanya berusaha mengungkap apa yang tengah saya lihat. Banyak orang yang rela bersusah payah mendapatkan suatu pekerjaan, tapi kemudian hanya bisa mengeluh setelah ia berhasil mendapatkan dan melakukan pekerjaan itu. Kadang saya heran, maunya apa, sih? Setidaknya, tidak usah mengeluh seperti itu. Kalau memang butuh materi--di luar konteks serakah--maka terimalah pekerjaan itu dan lakukanlah dengan baik. Jika memang berat, ringankanlah dengan do'a dan berserah padanya. Tidak usah mengeluh, karena itu hanya membuat orang sekitar bingung melihatnya. Apalagi bagi orang yang menginginkan pekerjaan itu namun tak mendapatkannya, bisa saja ia memaki, "dasar tidak pandai bersyukur! Saya saja ingin kerja di sana!"

Masih bisa diterima, jika alasan kebutuhan materi (misalnya menjadi tulang punggung keluarga yang kurang mampu, dan alasan sejenis) memaksa kita melakukan pekerjaan yang tidak kita cintai. Kalau begini, maka tak bisa disalahkan, karena itu sebuah tuntutan untuk tujuan yang insya Allah baik. Yang penting, selama melakukannya, kita harus berusaha menumbuhkan rasa ikhlas. Namun, kalau kita jelas-jelas tidak suka dengan sebuah pekerjaan tetapi tetap memaksanya karena, maaf, keserakahan kita, atau hanya sekedar jaga imej dan gengsi, maka sebaiknya jangan ambil pekerjaan itu. Bisa jadi, keterpaksaan kita hanya akan membuat pekerjaan kita jadi berantakan, atau lebih parah, hidup kita yang berantakan. Kasihan kan, kalau perusahaan atau tempat kerja kita merugi karena ketidakberesan kita dalam bekerja? Atau, kasihan kan, kalau keluarga menjadi korban atas berantakannya hidup dan pekerjaan kita? Uang mengalir, tetapi kesedihan pun bergilir. Semoga ini tidak terjadi pada kita.

Kerjakanlah apa yang kita cintai, dan cintailah apa yang kita kerjakan. Beruntung bagi orang yang dari awal memang mencintai pekerjaannya, namun bagi orang yang telah terlanjur bekerja karena terpaksa, maka segeralah memohon pada-Nya untuk dianugerahi keikhlasan, sehingga lambat laun rasa cinta itu tumbuh dengan sendirinya.

Do what you wanna do, do what you love. Tapi 'do'-nya 'do positive', ya! :)

(Cerpen) Aku dan Keberuntunganku - Part IV


“Tunggu!” suaraku tercekat. Mereka berjalan terlalu cepat. Kulihat Ridho mengeluarkan sebungkus makanan dan beberapa lembar uang dari saku celananya.
Aku belum sempat menasihatinya agar tidak mencuri, nyatanya, ibunya sendiri mengajarinya. Bahkan ternyata si bujang bukan hanya mencuri makanan!
Kuremas dompetku yang kembali menipis. Ah, tak perlu menyesal, Allah tahu niatku.
***
Aku sampai di rumah saat matahari sudah terbenam dan lampu-lampu rumah sudah menyala. Aku berucap alhamdulillah, sepeda motorku berhasil mengantarku sampai rumah dengan bensin yang sangat dan sangat sedikit—ini adalah kebiasaan burukku menggunakan bensin hingga tetes terakhir. Kembali lagi karena keadaan yang memaksa, apalagi hari ini dompetku kembali gagal menebal.
Lelah begitu mendera hingga aku ingin segera rebahan begitu selesai shalat Isya. Aku kembali teringat kejadian tadi siang. Bahkan esok hari aku harus memenuhi janjiku pada ibu pemilik warung makan untuk menyusulkan 5.000 rupiah sisa klaimnya. Meski aku tahu aku tak bertanggung jawab lagi atas makanan yang Ridho curi, tapi aku tak boleh mengingkari janji yang telah kubuat. Ya Allah... Kuharap Engkau segera memberi wanita itu hidayah... Dan bagi ibu pemilik warung makan itu pula...
Aku sudah tak peduli dengan uang 15.000 rupiahku yang tak berguna. Ah, tidak seharusnya kubilang tak berguna. Sekali lagi kuyakinkan diri, Allah tahu niatku. Malaikat tak akan lupa mencatatnya.
Sebelum mata ini terpejam, kuraih ponselku dan kubuka situs favoritku, sebuah situs milik salah satu penerbit ternama. Aku terhenyak melihat salah satu artikel baru yang bertanggal tiga hari yang lalu di situs itu.
Kesibukan telah membuatku lupa menulis, menulis cerpen. Kukesampingkan salah satu hobiku itu selama beberapa waktu. Dan aku juga lupa, pernah mengirimkan sebuah naskah cerpen ke sebuah lomba dua bulan yang lalu.
Aku tak menyangka, aku mengingatnya dengan cara yang sangat indah. Aku mengingatnya karena aku melihat nama dan judul cerpenku tercantum sebagai pemenang pertama di artikel itu. Dan kubaca kalimat terakhir dalam artikel yang berisi pengumuman pemenang itu.
Selamat kepada para pemenang. Pemenang I berhak mendapat uang tunai Rp 2.000.000 + Paket Buku, Pemenang II berhak mendapat uang tunai Rp 1.500.000 + Paket Buku, dan Pemenang III berhak mendapat uang tunai Rp 1.000.000 + Paket Buku. Uang tunai akan dikirim ke rekening masing-masing dan paket buku akan dikirim via titipan kilat.
Aku bersujud syukur. Bukan berlebihan, tapi karena menurutku ini suatu hal yang besar bagiku. Kuusap air mata yang sejak beberapa hari ini hampir menetes karena lelah hati yang kurasakan.
Aku berbisik dalam hati, ya Allah... Apakah Engkau sedang memberi sebuah keberuntungan padaku? Terima kasih karena telah membuatku tahu, bahwa ternyata tak ada keberuntungan tanpa perjuangan... Sekecil apapun perjuangan itu...

.:: The End ::.

(Cerpen) Aku dan Keberuntunganku - Part III


“Nak, jangan bosan untuk selalu ingat, bahwa semua yang terjadi dalam hidup manusia pasti ada hikmahnya. Jangan kira bahwa karena kita orang baik-baik, kita tidak pernah diberikan cobaan. Justru untuk menguji iman dan kesabaran kita, kita pasti akan diberi cobaan. Bukankah untuk naik kelas seorang murid harus menjalani ujian lebih dulu?” jelas Bapak.
Waktu itu aku hanya bisa diam menundukkan kepala.
“Bapak tahu kamu kuat,” katanya.
***
 Melanjutkan lebih mudah daripada memulai. Tetapi memulai jauh lebih mudah daripada mengulangi, karena saat mengulangi, ingatan buruk akan pengalaman sebelumnya akan menghantui. Dan itu adalah hal berat bagiku. Aku harus mengulangi semua perjuanganku, untuk kembali berjerih payah mendapatkan beberapa lembar uang.
Bapak dan Ibu tak pernah menyalahkanku atas apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Itu cukup membuatku merasa tenang, dan berusaha mengikhlaskannya. Toh rezeki sudah ada yang mengatur, Dia tak tidur, Dia melihat perjuangan kita.
Hari ini aku pergi ke kampus dengan energi sepiring nasi goreng—ada nasi sisa kemarin, lebih baik digoreng saja daripada harus beli lauk lagi, begitu pikir Ibu. Perhitungan yang cermat memberi kesimpulan padaku bahwa hari ini tak ada jatah uang untuk makan siang di kampus. Untung saja, sepiring nasi goreng cukup bagiku untuk bertahan sampai maghrib, yang penting aku tak boleh lupa membawa air minum sendiri. Nyatanya, saat siang datang Allah memberiku rezeki lewat temanku yang memberiku dua potong brownies yang ia bawa ke kampus, alhamdulillah.
Selepas dzuhur aku harus bergegas ke toko asesoris tempatku menitipkan asesoris flanel karyaku. Berapa buahpun yang sudah terjual, aku tak boleh malu untuk mengambil uangnya—karena aku butuh, sangat butuh. Setelah pemilik toko menghitung, ternyata hanya beberapa buah bros kecil yang terjual, dan uang yang bisa kukantongi hanya 12.000 rupiah saja. Tak apa, itu cukup bagiku untuk berjaga-jaga agar dompetku cukup tebal, meski dengan lembaran seribuan.
“Kebiasaan!”
Kudengar suara keras seorang wanita dari warung makan di sebelah toko asesoris. Aku melihat seorang bujang kecil di depan warung itu. Tubuhnya didorong-dorong keluar oleh seorang ibu berperawakan tinggi besar.
“Diajarin siapa kamu?!! Kecil-kecil ngutilin makanan! Pergi sana! Jijik liatnya!” omel ibu itu.
Si bujang tampak menahan tangis. Di tangannya masih ada sepotong tempe goreng yang terlihat bergoyang-goyang karena si bujang gemetaran. Kelihatannya lidahnya kelu untuk sekadar mengutarakan pembelaan diri.
Ibu itu tampak sangat kesal melihat si bujang tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. “Kenapa lagi????” Ibu itu menoyol kepala si bujang dengan kasar di depan mataku. Ingin kucegah, tapi terlambat. “Mau kupukul pake sapu, heh???” Ibu itu tampak bersiap memukul si bujang dengan sapu yang tersandar di tembok.
“JANGAN!” akhirnya suaraku keluar juga.
Ibu itu tampak kaget melihatku. Ekspresi garangnya tampak berkurang. “Tidak usah ikut campur, Mbak. Anda tidak tahu si yatim ini sudah ngutil berapa kali!” ujar ibu itu, berusaha membenarkan tindakannya.
Aku sendiri bertambah kaget mendengar ibu itu berkata bahwa si bujang kecil itu adalah anak yatim. Justru karena itulah, tak seharusnya ibu bertindak seperti itu, batinku.
“Saya bukannya ingin ikut campur, saya cuma tidak ingin Ibu mendapat masalah karena menyakiti seorang anak, apalagi anak yatim,” kataku.
Ibu itu tampak tersenyum meremehkan. “Jelas Anda bisa bicara seperti itu, wong Anda tidak merasakan kerugiannya!”
“Memang berapa yang anak ini ambil kalau dirupiahkan?” tanyaku cepat.
“Kenapa? Mau ganti rugi???” ujar Ibu itu menantang.
“Katakan saja berapa, Bu,” kataku tegas.
Ibu itu memainkan mulutnya—yang pasti akan membuat seseorang kesal jika melihatnya. “Dua puluh ribu!” katanya ketus.
Aku mengambil dompetku dan mengambil beberapa lembar uang. “Saya bayar lima belas ribu dulu. Besok saya akan ke sini lagi membayar kurangannya,” jelasku tegas, lalu menggamit tangan si bujang dan pergi dari warung makan itu.
Aku berhenti berjalan agak jauh dari warung makan tadi, lalu berjongkok dan menatap si bujang.
“Kamu tidak bermaksud mencuri makanan itu kan, Sayang? Kamu kelaparan, ya?” tanyaku pelan.
Si bujang tampak bingung, menatapku nanar. Tempe goreng yang masih ada di tangannya kembali bergoyang gemetaran.
“Jangan takut sama Kakak, Kakak ndak akan marahin kamu,” lanjutku.
“Ridho!”
Belum selesai proses interogasiku, kembali kudengar suara wanita yang cukup keras di dekat kami, tapi itu jelas bukan suara si ibu pemilik warung tadi. Aku dan si bujang menoleh. Di sana sudah berdiri seorang wanita berkulit hitam lusuh, mengenakan topi butut dan menggendong seorang bayi.
“Mau dibawa ke mana anak saya, Mbak???” tanyanya marah padaku. Ridho, si bujang itu, melepas genggamanku dan berlari ke arah sang ibu. “Tidak usah sok menasehati anak saya, saya juga tahu Mbak akan bilang kalau mencuri itu dosa. Memangnya kenapa kalau dosa? Memangnya Mbak mau nguburin mayat saya dan anak saya kalau kami mati kelaparan? Nggak usah pedulikan dosa kami akibat mencuri,” jelasnya cepat. “Ayo kita pergi!” Ia lalu menggamit Ridho dan pergi meninggalkanku yang masih tercengang.

(Cerpen) Aku dan Keberuntunganku - Part II


“Ibu dan Bapak malu tidak bisa membiayai kuliahmu sepenuhnya,” lanjutnya. “Kami justru mengandalkanmu membiayai kebutuhan kuliahmu sendiri. Bahkan, untuk membeli obat asma pun Ibu harus meminta darimu...”
Perlahan tapi pasti, air mata Ibu menetes membasahi pipinya yang mulai keriput. Bapak masih belum pulang dari pekerjaannya—pekerjaan yang kata Ibu tak sepadan dengan beban kerjanya. Itu adalah pekerjaan insidental, jika dipanggil Bapak akan datang, jika tidak maka Bapak menganggur. Sekali dipanggil, Bapak harus berangkat dari pagi-pagi buta dan pulang petang hari. Bapak harus mengepul kwintalan gula untuk diangkut dan dikirim ke tempat tujuan, lintas kabupaten. Aku juga sebenarnya tak tega jika Bapak harus menjalani pekerjaan itu, tapi mau bagaimana lagi, usaha Bapak sebelumnya telah mengalami kebangkrutan, tidak ada jalan lain kecuali menerima pekerjaan insidental itu.
Ibu mengusap pipinya yang dialiri air mata. “Kalau Ibu punya uang, pasti Ibu akan membelikanmu jaket dan sepatu baru...” kata Ibu sambil menoleh ke arah gantungan bajuku yang dipenuhi oleh baju-baju setengah kotor. Di salah satu gantungannya, tergantung jaketku yang sudah lusuh dan sobek di bagian lengan, yang masih aku pakai karena tak ada pilihan lain.
Aku menggeleng. “Ndak apa-apa, Bu, jaket Sita masih bisa dipakai kok...” kataku menenangkan, meski jujur, aku pun terkadang merasa malu jika orang-orang memandangi bagian jaketku yang sobek itu.
“Ibu masih sering terpikir, kenapa saat kamu masuk kuliah, justru saat usaha Bapakmu bangkrut?” ujar Ibu, dengan pandangan menerawang.
“Kalau itu di luar apa yang sudah kita upayakan, berarti hanya ada satu kemungkinan, itu adalah takdir, Bu...” kataku, seraya memasukkan uang yang telah kuhitung dengan seksama ke dalam dompetku yang lagi-lagi juga sudah usang. Aku tak tahu apakah karena aku memang tidak pandai merawat barang-barang kepunyaanku, atau karena memang benar-benar barang-barang itu sudah saatnya diganti.
“Ibu minta maaf ya, Nak...” kata Ibu akhirnya, malah meminta maaf.
Aku menggelengkan kepala. “Sita ndak perlu memaafkan Ibu, karena memang tidak ada yang perlu dimaafkan...” kataku. Untung aku tidak diciptakan sebagai gadis yang rentan untuk menangis, jadi aku tidak perlu repot-repot membersihkan air mata.
“Maaf...” gumam Ibu.
Aku hanya bisa memeluknya. Semoga bisa memberikan sedikit ketenangan bagi hatinya yang tengah gundah.
***
Saat pagi menjelang, dengan bersin-bersin yang mengiringi, aku berangkat menuju kampus. Cukup semangat di pagi ini, karena siang nanti aku akan menabungkan sebagian uang hasil jerih payahku, untuk persiapan tugas akhir semester depan. Ya, cukup semangat, meski aku harus berangkat ke kampus dengan naik bus dan angkot, karena tiba-tiba motorku mogok, minta menginap di bengkel.
Tanpa jadwal les, hari ini aku bisa leluasa mengerjakan tugas kelompok bersama teman-teman dan jadwal menemani adik-adik untuk praktikum pun siang hari, jadi aku bisa pulang sore—yang menurutku sudah termasuk pulang awal. Aku pun sempat makan siang bersama teman-teman. Hari seperti inilah yang aku sukai, tidak membuat kepalaku menjadi terlalu berat dan badanku terasa remuk. Namun sayang, ada satu yang terlupa.
Hingga akhirnya aku pulang sekitar pukul 4 sore. Awan hitam menggelayut di langit. Ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah, aku tidak mau kehujanan di jalan. Tapi bus yang menuju daerahku tidak kunjung berangkat dari terminal tempatku menunggu—seperti pengalaman sebelumnya, aku lebih senang menunggu bus di gerbang keluar terminal.
Beberapa menit kemudian sebuah bus yang menuju ke daerahku muncul. Tak peduli bus itu sudah penuh, aku segera menaikinya—daripada kehujanan, pikirku. Alhasil, aku pun harus rela berdiri berdesakan dengan penumpang lain—pasti mereka juga buru-buru pulang karena menghindari hujan.
Ternyata hampir semua penumpang memiliki tempat tujuan yang jauh, jadi hingga mendekati daerahku, penumpang bus itu masih tetap penuh. Aku harus rela tetap berdiri selama kurang lebih setengah jam. Tidak ada firasat apa-apa ketika tiba-tiba seorang bapak berpakaian PNS menyenggolku cukup keras.
***
Benar saja. Uangku raib. Uang dengan jumlah cukup besar. Uang yang akan kutabung untuk persiapan tugas akhir. UANG HASIL JERIH PAYAHKU.
Selama beberapa hari aku tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Mungkin bagi orang lain, uang sejumlah itu tidak begitu besar, tapi bagiku, bagiku itu sama sekali bukan uang yang sedikit. Untuk mengumpulkannya, aku harus rela tidak sempat makan, menahan kantuk, menahan berat di kepala, flu. Lalu uang itu hilang... Bagaimana urusannya? Kenapa sesuatu yang sulit didapat tapi begitu mudah hilang dari genggamanku? Apakah usahaku masih kurang keras juga?
Hampir saja aku mengumpat kesal dan mulai menyalahkan siapapun untuk melampiaskan perasaanku seandainya Bapak tidak datang dan menenangkanku.

(Cerpen) Aku dan Keberuntunganku - Part I


Dipikirnya keren jadi tentor les begini? Dipikirnya asik sibuk kerja ke sana ke mari?
Sering, teman-teman menganggapku seperti itu. Dikira itu cita-citaku? Dikira aku sengaja biar keren? Ooo... tidak. Aku tidak pernah bercita-cita dilahirkan dari keluarga pas-pasan. Aku tidak pernah bercita-cita jadi mahasiswi yang sibuk kerja. Tidak pernah.
***
Waktu itu hujan rintik-rintik membasahi sebagian bumi di mana gedung fakultas yang sedang aku tempati berdiri. Aku melihat jam tanganku yang paling cantik sedunia. Jam 13.10, itu artinya 20 menit lagi seharusnya aku sudah berada di rumah murid lesku. Aku menatap ke luar melalui jendela ruang kuliah. Kelihatannya gerimis mulai berubah menjadi hujan kecil, dan akhirnya 5 menit kemudian hujan besar mengguyur kawasan kampusku. Berat. Harus menerobos hujan demi dua lembar uang 10 ribuan memang berat. Tapi itu bukan hal asing lagi bagiku. Itu keharusan.
Begitu Bu Dosen mengakhiri kuliahnya, aku segera keluar kelas. Aku berlari menuju tempat parkir, tanpa terlalu memedulikan beberapa teman yang memanggil-manggil—untuk urusan tugas makalah, adik kelas yang minta konsultasi, dan lain-lain. Sempat lupa di mana kuparkir motor bututku, tapi kemudian ia terlihat di barisan sebelah kanan dengan helmku—yang juga tak kalah bututnya—tergantung di kaca spion sebelah kanan. Segera kubuka bagasi motor dan mengambil mantel yang kusimpan di sana. Cepat-cepat kupakai mantelku yang sudah berhias isolasi untuk menambal bagian yang sobek, kupasang helm di kepala, kunyalakan motor, dan akhirnya aku meluncur—tanpa bisa ngebut karena hujan deras membuat jalanan licin.
Sungguh berbahaya, jika aku terus hanyut dalam lamunan sepanjang perjalanan menuju rumah Odi, murid lesku. Aku merasakan badanku yang mulai kurus, tenaga yang mulai berkurang, dan kepala yang tak pernah lepas dari rasa pusing dan penat. Tak sempat makan, harus terburu-buru dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain, tak pernah bisa tidur siang, pulang ke rumah kala gelap telah datang tapi tetap harus bersiap untuk aktivitas esok pagi, itu semua kini sudah menjadi rutinitasku. Aku adalah pemakan waktu, yang berangkat ke kampus sebelum teman-teman datang, dan pulang dari kampus setelah teman-teman pulang.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang aku alami. Aku selalu berpikir, aku bukanlah orang yang beruntung, jadi, aku memang ditakdirkan untuk selalu berjuang. Seumur hidupku, aku tidak pernah memenangkan undian apapun, termasuk memenangkan kupon jalan sehat—dapat merchandise-pun tak pernah. Mungkin terlalu sempit, tapi dari situ aku mengambil kesimpulan, bahwa aku memang bukan tipe orang beruntung.
Saat Odi mengatakan bahwa ia merasa kesulitan dengan banyak rumus matematika yang ia pelajari di sekolahnya—begitu aku sampai di rumahnya—saat itulah aku harus kembali berjuang membuka mataku lebar-lebar, menahan kantuk berat yang hampir selalu mendera, dan menahan lapar.
Selesai membantu Odi belajar, bukannya langsung pulang ke rumah, aku kembali ke kampus—mengerjakan tugas yang lain. Kini giliran aku membantu adik-adik angkatan dalam praktikum suatu mata kuliah. Dengan jas panjang warna putih, aku bersama teman-teman asisten siap memimpin acara praktikum di laboratorium. Meskipun badan terasa remuk, tapi harus selalu ada semangat yang terpancar. Dan tidak sepenuhnya aku harus merasa lelah menemani mereka, karena aku senang, dengan ini aku bisa memiliki banyak adik di kampus.
***
Yang paling menyenangkan adalah saatnya menghitung uang. Memplot-plotkannya untuk membayar ini, itu, tetek-bengek kuliah yang tak pernah ada habisnya.
Saat itu malam yang basah. Air hujan yang jatuh ke genting rumah, menimbulkan suara khas yang membuat manusia betah dan tidak ingin melakukan aktivitas di luar. Hawa dingin justru semakin membuat rumah terasa hangat, dan begitu nyaman untuk manusia beristirahat, memejamkan mata. Tapi aku masih menghitung uang. Lembar demi lembar kurentangkan, agar jelas, berapa uang yang sudah kukumpulkan.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Ibu. Ia kemudian masuk dan duduk di tepi tempat tidur, tempatku sedang merentangkan uang-uangku—yang sebenarnya tidak seberapa.
“Sudah dapat bayaran dari semuanya?” tanya Ibu. Dadanya yang tampak sekali kembang-kempis jika mengambil nafas membuatku tak kuasa menatapnya.
“Dari ibunya Odi sudah, dari bantu penelitian Bu Emi sudah, dari bantu kerjaannya Pak Suratno sudah, bayaran asisten praktikum sudah, tinggal asesoris flanel yang dititipkan di toko yang belum...” jelasku, sembari tetap menghitung.
Kupikir Ibu akan menyahut, tapi ia diam saja. “Kenapa, Bu?” tanyaku, seraya mendongakkan kepala menatapnya.
Ibu mengalihkan pandangannya dariku.
“Obat Ibu habis?” tanyaku. “Iya, insya Allah besok jeda kuliah Sita belikan obat ke apotek biasa. Tenang saja, Bu...” jelasku, sebelum Ibu sempat menjawab.
Ibu menggeleng. “Ibu dan Bapak malu, Nak...” kata Ibu tiba-tiba.
Menurutku, Ibu bukanlah tipe orang yang romantis. Ibuku adalah orang yang kaku dan jarang mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata. Tapi saat ini, kelihatannya ada satu ketertekanan yang membuat Ibu tak peduli lagi dengan rasa canggung untuk berterus terang mengenai perasaannya padaku.

Istiqomah


Semakin kujelajahi isi bumi dengan banyak mencari tahu dan tak sengaja tahu, semakin jauh rasanya merealisasikan impianku bahwa istiqomah itu mudah. Perubahan memang hal mutlak yang selamanya akan terjadi di muka bumi ini. Tapi, seperti sistem audisi menjadi penyanyi terkenal, hanya segelintir manusia yang benar-benar tetap pada mainstream perubahan ke arah positif. Perlahan mereka berganti mimpi, berpencar, dan melebur bersama lingkungan baru macam tercebur pada tong berisi cat—begitu keluar, seluruh tubuh berubah warna seperti cat itu. Padahal dulunya, dengan susah payah mereka menggosok-gosok tubuh mereka dengan sabun mandi tarbiyah, memakai lulur ukhuwah, dan rajin spa tilawah. Tapi hanya dengan perubahan siklus dan tuntutan sepercik emosi (hanya sepercik) dalam diri, mereka dengan mudah melompat masuk ke dalam tong itu.

Kulihat, kudengar, dan kubaca semua yang menjeblak di hadapanku. Aku merasakan mata ini seperti dicolok dengan tangan bekas mencolek sambal ketika melihat kenyataan akan perubahan seperti itu. Aku lebih takut pada keraguan yang mulai muncul dalam diriku, apakah istiqomah sesulit itu? Aku takut aku juga tak bisa mencapai dan menjaganya, karena ia terlihat sama sulitnya dengan merobohkan seekor gajah hanya dengan satu jari kelingkingmu. Semakin kutelisik, semakin aku merasa cemas. Lalu aku bersimpul, ini sebuah fenomena yang telah mengakar sejak jaman baheula, namun saat ini aku baru mendapatinya secara nyata.

Beruntunglah mereka yang masih pada mainstream. Hanya melongok isi tong cat, dan bahkan tak ada niat untuk mencelupkan jari ke dalamnya. Tak lelah terus menggosok tubuhnya dengan sabun mandi tarbiyah yang kualitasnya lebih baik, rutin memakai lulur ukhuwah yang lebih pekat, dan semakin rajin spa tilawah lebih lama. Dan untuk menjadi seberuntung itu, mungkin kita harus berusaha terus mengingat mimpi kita yang terbaik, yang dulu kita susun saat letupan iman kita sedang memuncak dan tak berhenti membuncah ibarat lumpur lapindo. Jangan sampai terbersit niat untuk berganti mimpi, atau melupakan mimpi lama kita. Karena dengan memusatkan diri pada mimpi terbaik itu, mau berpencar ke manapun, berbaur dengan siapapun, insya Allah kita tak akan tercebur dan berubah warna. Catat ia baik-baik dalam hati dan pikiran kita, atau bahkan catat ia secara nyata di buku pribadi kita, agar saat kita lupa, kita bisa membuka catatan itu dan berazzam lagi terhadapnya.

Ini pun kutulis agar sewaktu-waktu aku bisa membacanya, supaya aku tak ragu tetap ambil lurus ketika menemui persimpangan.